“Radikalisme telah menjamur dikalangan pelajar dan mahasiswa. Banyak hal yang harus dilakukan oleh stakeholder untuk mengatasi permasalahan tersebut”
Label gerakan radikalisme bagi kelompok Islam garis tengah bermacam-macam, seperti ekstrim kanan, fundamentalis, militan, dan sebagainya. Harun Nasution menyebut bahwa gerakan radikalisme sama dengan Khawarij abad ke dua puluh karena jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan adalah dengan menggunakan kekerasan sebagaimana dilakukan oleh kaum Khawarij. Radikalisme sebagai gerakan yang menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka semakin merambah ke dunia pelajar dan mahasiswa. Adanya doktrin yang dilakukan oleh kalangan tertentu, menjadikan maraknya radikalisme, terutama radikalisme agama.Sebenarnya Islam tidak membenarkan adanya kekerasan, cara-cara radikal yang digunakan untuk mencapai sebuah tujuan bukanlah cara Islami. Di dalam tradisi Islam juga tidak dikenal adanya label radikalisme. Isu-isu mengenai radikalisme agama khususnya agama Islam, sebenarnya sudah lama menjadi wacana publik. Dalam perspektif Barat, gerakan Islam sudah dianggap gerakan yang radikal. Hal ini terjadi karena adanya praktek-praktek kekerasan yang telah dilakukan oleh sekelompok Islam dengan membawa simbol-simbol Islam.
Mahasiswa ketika dalam kondisi yang labil, kurang perhatian, dan tidak punya teman termasuk elemen yang mudah disusupi oleh ideologi radikal. Mahasiswa kerap kali suntuk dengan kegiatan perkuliahan sehingga mahasiswa mengalami disorientasi. Akibatnya, mereka mudah ditanamkan sikap militansi. Mereka cenderung menerima doktrinasi secara mentah. Rendahnya knowledge menjadi salah satu penyebab, sehingga mereka akan terjerumus dalam ajaran radikal.
Semakin Eksis
Saat ini gerakan radikalisme semakin menunjukkan eksistensinya, gerakan ini semakin bertambah subur terutama dikalangan pelajar dan mahasiswa. Dari hasil survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) tentang radikalisme di kalangan pelajar se-Jabodetabek, misalnya, tingkat pengenalan dan kesetujuan terhadap organisasi radikal, rata-rata persentase guru dan siswa masing-masing 66,4% dan 26,7% (yang mengenal) serta 23,6% dan 12,1% (yang menyetujui). Dari temuan LaKIP itu, jelas sekali guru dan siswa di Jabodetabek mengenal organisasi dan tokoh radikal serta sebagian dari mereka menyetujui tindakan organisasi dan tokoh tersebut.
Dari data LaKIP juga, diperoleh 62,7% guru dan 40,7% siswa menolak berdirinya tempat ibadah non-Islam di lingkungan mereka. Guru (57,1%) dan siswa (36,9%) juga menolak bertoleransi dalam perayaan keagamaan di lingkungan mereka. Lebih jauh lagi, dari hasil survei itu juga ditemukan fakta yang menarik, yaitu 21,1% guru dan 25,8% siswa menganggap Pancasila tidak lagi relevan sebagai ideologi negara. Guru dan siswa pun menganggap persoalan bangsa akan teratasi bila syariat Islam diterapkan di Indonesia. Yang menjadi pertanyaan krusial adalah apakah mereka telah meng”iya”kan adanya gerakan Negara Islam Indonesia yang saat ini tengah gencar-gencarnya berkembang di Indonesia?
Memang disadari bahwa proses “reproduksi” gerakan radikal tak pernah surut, terutama gerakan Islam radikal. Hal ini terutama tampak pada tema-tema ideologis yang diusung kalangan Islam radikal yang “lebih vulgar”, yang memfokuskan gerakannya pada empat agenda utama yaitu, mendirikan negara Islam dan menegakkan syariah, seraya menolak demokrasi dan kepemimpinan perempuan. Hebatnya, gerakan para aktivis Islam radikal ini telah memasuki ruang beberapa partai-partai politik Islam di Tanah Air. (Lihat penelitian Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia, 2002).
Gerakan radikal yang saat ini terfokus adalah gerakan NII (Negara Islam Indonesia) yang ingin medirikan sebuah negara Islam sendiri. Gerakan yang dilakukan NII ini sangat mencemarkan agama Islam dan sangat bertentangan dengan syariat Islam. Kasus ini telah merambah luas, khususnya dikalangan mahasiswa.
Dalam proses baiat (pengambilan sumpah) ketika seseorang akan berhijrah ke NII, para korban khususnya mahasiswa diminta sejumlah uang. Sumpah ini bagian dari rangkaian metode cuci otak yang membuat para korban rela menyerahkan uang dari hasil menipu orang tuanya, mencuri, menggadaikan barang yang dimiliki, dll. Menariknya, dalam menarik calon korban, NII menggunakan daya tarik perempuan-perempuan cantik untuk dipilih dan dijadikan istrinya. Jika laki-laki tersebut tertarik, maka seketika itu juga langsung dinikahkan.
Namun, pemerintah masih terlihat stagnan dalam menghadapi polemik yang terjadi dalam kasus NII. Seharusnya pemerintah mengambil bersikap tegas mengenai permasalahan itu, sehingga permasalahan yang sama tidak akan terulang kembali.
Banyak penyebab adanya gerakan radikalisme yang terjadi di Indonesia. Modernitas menjadi salah satu penyebab adanya radikalisme. Pengaruh modernitas ini bukan hanya pada dimensi kultural, tetapi juga dimensi struktural-institusional, seperti sains dan teknologi serta instrumen modern lainnya, khususnya pandangan mengenai kesadaran kebangsaan yang melahirkan konstruksi negara-bangsa modern.
Secara umum masyarakat tidak mampu untuk merespon adanya nilai-nilai dan norma-norma yang terbawa oleh modernitas, sehingga masyarakat mudah untuk dikibuli dengan doktrin-doktrin yang diberikan. Perkembangan modernitas dengan tanpa mengadaptasikan ajaran agama dengan kebutuhan sejarah dan konteks sosial, pada akhirnya melahirkan sikap eksklusif dan pandangan ekstrim dalam beragama.
Faktor lain yang menyebabkan adanya gerakan radikalisme yaitu mengenai pemahaman masyarakat terhadap agama yang dianutnya. Pemahaman keagamaan yang ekslusif, skripturalis, dan miskinnya kesadaran sejarah dalam penafsiran teks-teks kitab suci, telah mewariskan sikap-sikap yang fanatik, dogmatik, dan intoleran dalam menyikapi perkembangan global. Tentunya penerapan ajaran-ajaran agama yang mengabaikan aspek sosio-kultural masyarakat setempat semakin memperkuat adanya gerakan radikalisme.
Banyaknya permasalahan dalam masyarakat itu, menjadikan tempat persemaian strategis bagi gerakan radikalisme. Masyarakat (khususnya mahasiswa) mudah untuk dipengaruhi, sehingga gerakan ini semakin meluas. Oleh karena itu, bukan hanya tindakan saja yang menjadi prioritas utama dalam memecahkan permasalahan tersebut. Adanya komunikasi persuasif menjadi solusi yang paling ampuh untuk meminimalisir adanya gerakan radikalisme. Komunikasi yang dimaksud tidak hanya sebatas lisan semata, melainkan pihak yang berwenang dan berkepentingan harus terjun langsung ke lapangan mendatangi kelompok-kelompok radikal tersebut. Komunikasi ini harus dilakukan untuk menciptakan deradikalisasi bukan hanya lips service. Tetapi lakukan reintegrasi, reedukasi, dan harus mau turun ke bawah berbaur, harus ada kedekatan, (menurut pengamat intelijen, Wawan Purwanto).
0 komentar:
Post a Comment