IBNU TUFFAIL
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi
Tugas
Mata Kuliah: Filsafat
Islam
Dosen Pengampu: Drs.
Darmu’in, M. Ag
Disusun
oleh:
1.
Fitria
2.
Bagus
3.
Sute’ Ahmad
4.
Siti Toifah
5.
Malikhah :
103111123
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
FILSAFAT IBNU TUFFAIL
I.
PENDAHULUAN
Filsafat Islam merupakan filsafat yang
bermuatan religius (keagamaan), namun tidak mengabaikan persoalan kefilsafatan.
Pengakuan tentang adanya filsafat Islam harus dilihat dari ajaran pokok
agamanya. Karena pada hakikatnya jika tidak ada ilham dari Al-Qur’an dan hadits
sebagai dorongan, filsafat dalam dunia Islam dalam arti yang sebenarnya tidak
akan pernah ada. Sementara pemikiran bangsa lain hanya sebagai pelengkap dalam
mempercepat proses kelahirannya semata.[1]
Filosof muslim mampu melakukan kritikan terhadap
beberapa pandangan filosof-filosof Yunani tersebut serta memberikan solusi yang
mencerahkan dunia pemikiran. Masing-masing
filosof muslim tersebut memiliki titik fokus dan cara berfilsafat yang menarik
untuk dikaji. Di antaranya terdapat nama Ibnu Thufail. Filsof muslim yang satu
ini berupaya menyajikan filsafat dalam bentuk yang unik. Melalui sebuah roman
alegoris, ia mencoba menampilkan materi filsafat yang cenderung ‘pelik’
dipahami oleh sebagian orang. Ia wujudkan filsafat dalam bentuk sebuah karya
yang ringan sehingga dapat dibaca di ruang keluarga saat beristirahat dari
rutinitas sehari-hari. Hayy ibn Yaqzhan, itulah roman Ibnu Thufail yang
monumental yang masih dapat kita nikmati sampai saat sekarang.
Pada makalah ini, kami akan menyajikan tentang
pemikiran Ibn Thufail melalui roman Hayy
Ibn Yaqzhan. Diawali dengan biografi, kritik Ibn Tuffail terhadap para
filsuf, filsafat Ibn Tuffail, dan karya-karya Ibn Tuffail.
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana Riwayat Hidup Ibn. Tuffail?
B.
Bagaimana Kritik Ibnu Tuffail
terhadap Para Filsuf?
C.
Bagaimana Filsafat dari
Ibn. Tuffail?
D. Apa Karya Ibn. Tuffail?
III.
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup Ibn. Tuffail
Nama
lengkap Ibn Tufail adalah Abu Bakar Muhammad ibn ‘Abd Al- Malik ibnu Muhammad
ibnu Muhammad ibn Tufail. Dia dilahirkan di Cadix, provinsi Granada, Spanyol
pada tahun 506 H/ 1110 M. Ibn Tufail termasuk dalam keluarga suku Arab
terkemuka, Qais. Dalam bahasa latin, beliau popular dengan sebutan Abu Bacar.
Sebagaimana
filosof-filosof muslim (juga filosof-filosof Yunani), Ibn Tufail juga memiliki
disiplin ilmu dalam berbagai bidang (all round). Selain sebagai seorang
filofsof, beliau juga ahli dalam ilmu kedokteran, matematika, astronomi, dan
penyair yang sangat terkenal dari dinasti Al Muwahhid Spanyol. Beliau memulai
karirnya sebagai dokter praktek di Granada. Lewat ketenarannya sebagai dokter,
ia diangkat menjadi sekretaris gubernur di provinsi itu. Kemudian, ia diangkat
menjadi sekretaris pribadi gubernur geuta da Tangier oleh putra Al-Mu’min,
penguasa Al Muwahhid Spanyol.[2] Karena
adanya hubungan dengan khalifah Abu Ya’qub Yusuf dari dinasti Al Muwahhidun
yang bersimpati pada study filsafat dan sains, membuatnya diangkat sebagai
tabib dan penasehat istana. Selanjutnya ia diangkat menjadi dokter pemerintah
dan sekaligus menjadi Qadhi. Ketika sang khalifah wafat pada tahun 1184 M, Ibn
Tuffail tetap juga bekerja kepada pengganti sang khalifah hingga meninggal
dunia pada usia yang cukup tua pada tahun 1185 M.[3]
Ibn
Tufail meletakkan jabatan sebagai dokter pemerintah pada tahun 587 H/ 1182 M
karena alasan usianya yang sudah lanjut. Ia menganjurkan kepada khalifah supaya
ibn Rasyd, muridnya, menggantikan kedudukannya. Khalifah Abu Yusuf Al Mansur,
meluluskan permintaannya dengan langsung menunjuk Ibn Rusyd sebagai dokter
istana. Semasa hidupnya ibnu Tufail menerima penghargaan dari khalifah. Ketika
ia meninggal pun di Maroko pada tahun 580 H/ 1184 M, khalifah ikut menghadiri
upacara pemakamannya, juga sebagai penghargaan terhadapnya.[4]
B.
Kritik Ibnu Tuffail
Mulanya Ibnu Tuffail dikatakan orang berada
disuatu tingkat yang ajaib dalam ilmunya, yakni berada dalam tingkat mistik
yang penuh kegembiraan. Beberapa orang menganggapnya sebagai panteis, yakni
orang yang menganggap tidak ada beda lagi antara dirinya dengan Tuhan. Anggapan
ini ternyata salah. Dia sebenarnya hanya seperti Al-Ghazali, merasa telah
mencapai ma’rifat yang tinggi, seperti katanya: “fa kana ma kana mimma lastu adzkuruhu. Fa-dhonnu khairon wa la tas’al
‘anil khabari. (Terjadilah sesuatu yang tidak akan ku sebutkan. Akan
tetapi, sangkalah dia sebagai suatu kebaikan juga, dan jangan tanya tentang
beritanya.)
Banyak sahabat Ibnu Tuffail yang menanyakan
bagaimana penglihatan orang yang telah mencapai tingkatan itu. Akan tetapi,
dalam bukunya ternyata Ibnu Tuffail tidak menerangkan tentang itu. Diduga, ia
seperti filsuf-filsuf sebelumnya, tidak dapat menceritakannya karena miskinnya
perbendaharaan kata manusia untuk itu.
Mengenai filsafat aristoteles, Al Farabi,
dan Ibnu Sina, Ibnu Tuffail mengatakan bahwa dalam buku-buku mereka itu juga
belum didapatkan gambaran filsafat yang memuaskan tentang hakikat kebenaran
itu.
Mengenai Ibnu Sina, dikatakan olehnya bahwa
dalam bukunya “asy-Syifa”, Ibnu Sina kelihatan sekedar mengikuti aliran
Aristoteles. Disamping itu, Ibnu Sina juga dipuji terkait karangannya yang
berjudul Al-falasifatul-masyriqiah, yang
mengandung pendapat tentang kebenaran yang dianggap penting oleh Ibn Tuffail. Akhirnya
mengenai Al-Ghazali dikatakan oleh Ibn Tuffail bahwa didalam buku-buku Al-Ghazali,
dia melihat adanya pertentangan pendapat satu sama lain.
Kesimpulan kritik-kritiknya terhadap
filsuf-filsuf Timur adalah Ibn Tuffail memberi kesan bahwa apa yang telah
dijelaskan oleh mereka itu belumlah memberikan kepuasan. Dan karena itu pula
Ibnu Tuffail lalu mencoba menerangkan pendapat filsafatnya dalam cerita ibarat Hayy ibn Yaqdhan itu. Maksud menulis
cerita itu adalah sebagai jalan untuk menyampaikan hasrat orang yang bertanya
tentang derajat kepuasan yang selalu dibayangkan oleh kaum filsafat dan
tasawuf.[5]
Kerangka romantik kisah Hayy Ibn Yaqdzan ini memang tidak asli
dari Alexandria, bahkan mungkin dari Persia. Bagaimanapun, ibn Tuffail lah yang
mengubah sebuah kisah sederhana menjadi sebuah roman yang mengandung makna
filosofis yang unik. Ketajaman filosofislah, bukannya ketajaman imajinasi
puitis yang menandai kebaruan risalah itu dan membuatnya menjadi salah satu
buku paling asli Zaman Pertengahan.[6]
C.
Filsafat Ibnu Tuffail
Untuk memaparkan pandangannya mengenai
filsafat, Ibnu Tuffail memilih metode
khusus dalam bentuk kisah filsafat, dalam bukunya yang terkenal Hayy
Ibn Yaqzhan. Dalam bukunya tersebut dapat dilihat pendirian Ibnu Tuffail
tentang hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan
alam sekitarnya, dan hubungan antara akal dan agama.
Sebelum filsafat Ibnu Tuffail dipaparkan
lebih jauh, ada baiknya dikemukakan ringkasan kisah Hayy ibn Yaqzhan sebagai
berikut:
Di kepulauan India ada sebuah pulau kecil
tak berpenghuni manusia. Pulau itu sepi dan terpencil, beriklim sedang, dan
terletak di garis khatulistiwa yang oleh Harun Nasution dikatakan kepulauan
Indonesia. Pendapat ini ada benarnya karena kepulauan yang dilewati
khatulistiwa memang Indonesia. Selain itu, kebiasaan masa lalu menyebut
kepulauan timur dengan kepualauan India. Di pulau ini lahir bayi secara
alamiah, tanpa ayah dan ibu. Berarti lewat tulisannya Ibn Tuffail ini mendukung
adanya teori evolusi.[7]
Cerita diatas merupakan cuplikan kisah yang
diceritakan Ibn Tuffail. Meskipun demikian, terdapat beberapa versi terkait
cerita Ibn Tuffail. Sangat patut dihargai bahwa Ibn Tuffail, yang merupakan
seorang pemikir Muslim abad ke 6 H, telah menentang beberapa filsof sebelumnya
dalam pandangannya tentang penciptaan manusia. Dia telah mengemukakan doktrin
yang bukan saja bertentangan dengan Islam tetapi juga dengan semua agama. Bisa
ditegaskan dengan kepastian yang beralasan bahwa Ibnu Tuffail menemukan hukum
evolusi dan pertumbuhan alamiah spesies manusia dari sudut pandang ilmu alam
yang tepat. Dan jika dia tidak bisa memberikan perincian dalam garis besar
doktrinnya, itu disebabkan dia kekurangan informasi mengenai sejarah alam yang
tidak tersedia pada zamannya. [8]
Ada beberapa pandangan Ibn Tuffail terkait
filsafat:
1.
Ketuhanan
Dari hasil pengamatan dan pemikiran tentang
alam semesta serta pengalaman hidupnya, Hayy
sampai pada suatu kepastian bahwa alam ini diciptakan oleh Allah. Dengan
akalnya, ia telah mengetahui adanya
Allah. Dalam membuktikan adanya Allah, Ibnu Tuffail mengemukakan 3 argumen:
a. Argumen Gerak (al-harakat)
Gerak alam ini menjadi bukti tentang adanya Allah, baik
bagi orang yang meyakini alam baharu maupun kadim. Bagi orang yang meyakini
alam baharu, berarti alam ini sebelumnya tidak ada, kemudian menjadi ada. Untuk
menjadi ada, mustahil dirinya sendiri mengadakan. Oleh karena itu, mesti adanya
penciptanya. Pencipta inilah yang menggerakkan alam dari tidak ada menjadi ada,
yang disebutnya Allah.
Sementara bagi orang yang meyakini alam ini kadim, alam
ini tidak didahului oleh tidak ada dan selalu ada, maka gerak alam ini kadim,
karena tidak berawal dan tidak berakhir. Karena zaman tidak mendahuluinya, arti
kata gerak ini tidak didahului oleh diam. Adanya gerak ini menunjukkan secara
pasti adanya penggerak yakni Allah.
Argumen gerak ini sebagai bukti alam ini kadim dan
baharu, dan pendapat ini belum pernah dikemukakan oleh filsof Muslim manapun
sebelumnya. Dengan argumen ini, Ibnu Tuffail memperkuat argumentasi bahwa tanpa
wahyu akal dapat mengetahui adanya Allah.[9]
b. Argumen Materi (al-madat) dan Bentuk (al-shurat)
Argumen ini menurut Ibnu Tuffail dapat digunakan untuk
membuktikan adanya Allah, baik bagi orang yang meyakini alam ini baharu maupun
kadim. Dikemukakan Ibnu Tuffail dalam kumpulan pokok pikiran yang terkait
antara satu dengan yang lainnya, yakni sebagai berikut:
1. Segala yang ada ini tersusun dari materi dan bentuk
2. Setiap materi membutuhkan bentuk
3. Bentuk tidak mungkin bereksistensi penggerak
4. Segala yang ada (maujud) untuk bereksistensi membutuhkan
pencipta
Bagi orang yang meyakini alam ini kadim, pencipta
berfungsi mengeksistensikan wujud dari satu bentuk pada bentuk yang lain.
Sementara itu, bagi orang yang meyakini alam ini baharu, pencipta ini berfungsi
menciptakan alam dari yang tidak ada menjadi ada.
c. Argumen al-Ghaiyyat dan al-‘inayat al-Ilahiyyat
Argumen ini berdasarkan pada kenyataan bahwa segala yang
ada di alam ini mempunyai tujuan tertentu. Ini merupakan inayah dari Allah.
Argumen ini pernah dikemukakan oleh Ibnu Sina dan Al Kindi sebelumnya. 3 illat
(sebab) yang dikemukakan oleh Aristoteles, al madad (materi), al-shurat
(bentuk), dan al-fa’ilat (pencipta) dan dilengkapi oleh Ibnu Sina
dengan illat al-ghaiyyat (sebab tujuan).
Ibnu Tuffail berpegang dengan argumen ini, sesuai dengan
Qur’ani, menolak bahwa alam diciptakan oleh Allah secara kebetulan. Pencipta
seperti itu bukan timbul dari pencipta Yang Maha Bijaksana.[10]
2.
Akal
Ibnu Tuffail tidak sepaham dengan
Al-Ghazali yang mengungkap tasawuf-lah
(bukan akal) yang dapat mengantarkan manusia kepada hakikat kebenaran. Ibnu
Tuffail setuju dengan Ibnu Bajjah yang menyatakan bahwa akal dapat membawa
manusia setingkat demi setingkat dari alam kegelapan menuju kepada cahaya yang
terang benderang tentang hakikat kebenaran.
Ibnu Tuffail membagi perkembangan alam
pikiran manusia menuju hakikat kebenaran ke dalam enam bagian, yakni:
Pertama,
dengan cara ilmu Hayy bin Yaqdhan,
yaitu dengan kekuatan akalnya sendiri, memperhatikan perkembangan alam makhluk
ini bahwa tiap-tiap kejadian mesti ada yang menyebabkan.
Kedua,
dengan cara pemikiran Hayy bin
Yaqdhan terhadap teraturnya peredaran benda-benda besar di langit seperti
matahari, bulan, dan bintang-bintang.
Ketiga,
dengan memikirkan bahwa puncak kebahagiaan seseorang itu mempersaksikan
adanya Wajibul Wujud yang Maha Esa.
Keempat,
dengan memikirkan bahwa manusia ini adalah sebagian saja dari makhluk
hewani, tetapi dijadikan Tuhan untuk kepentingan-kepentingan yang lebih tinggi
dan utama dari hewan.
Kelima,
dengan memikirkan bahwa kebahagiaan manusia dan keselamatannya dari
kebinasaan hanyalah terdapat pada pengekalan penyaksiannya terhadap Tuhan Wajibal-Wujud.
Keenam,
mengakui bahwa manusia dan alam makhluk ini fana dan semua kembali kepada
Tuhan.
Ibnu Tuffail menerangkan bahwa perbandingan
dan hubungan antara Tuhan Wajibal Wujud dengan
alam makhluk adalah laksana cahaya matahari dengan benda-benda alam yang
disinarinya. Cahaya matahari itu saja sebenarnya yang bercahaya (sumber
cahaya), tetapi orang mengira bahwa benda-benda lain itu juga bercahaya.
Padahal benda-benda lain itu, bila tubuhnya (jisimnya) hilang binasa, maka
cahayanya pun lenyaplah. Dan yang tinggal tetap itu hanyalah cahaya matahari.
Apakah cahaya matahari itu sendiri sebenarnya memang tetap atau tidak tetap,
yakni akan pula (tidak kita bicarakan), yang sudah pasti diakui adalah sekalian
benda itu mendapat cahaya terang daripadanya.[11]
3.
Jiwa
Jiwa menurut Ibnu Tuffail, adalah makhluk
yang tertinggi martabatnya. Manusia terdiri dari dua unsur, yakni jasad dan roh
(al madat wa al ruh). Badan tersusun
dari unsur-unsur, sedangkan jiwa tidak tersusun. Jiwa bukan jisim bukan pula
suatu daya yang ada didalam jisim. Setelah badan hancur atau mengalami
kematian, jiwa lepas dari badan, dan selanjutnya jiwa yang pernah mengenal
Allah selama berada dalam jasad akan hidup dan kekal.
Mengenai keabadian jiwa manusia dan
hubungannya dengan Allah, Ibnu Tuffail mengelompokkan jiwa dalam tiga keadaan,
yakni
Pertama,
jiwa yang sebelum mengalami kematian jasad telah mengenal Allah, mengagumi
kebesaran dan keagungan-Nya, dan selalu ingat kepada-Nya, maka jiwa seperti ini
akan kekal dalam kebahagiaan.
Kedua,
jiwa yang telah mengenal Allah, tetapi melakukan maksiat dan melupakan
Allah, jiwa seperti ini akan abadi dalam kesengsaraan.
Ketiga,
jiwa yang tidak pernah mengenal Allah selama hidupnya, jiwa ini akan
berakhir seperti hewan.
Ibnu Tuffail meletakkan tanggung jawab
manusia dihadapan Allah atas dasar pengetahuannya tentang Allah. Orang yang
mengetahui Allah dan menjalankan kebaikan akan kekal dalam kebahagiaan. Orang
yang mengetahui Allah, tetapi terus melakukan maksiat akan kekal dalam
kesengsaraan. Orang yang sama sekali tidak pernah mengetahui Allah, jiwanya
akan lenyap seperti jiwa hewan.[12]
D.
Karya Ibn. Tuffail
Ibn Tuffail wafat pada 581 H (1185 M). tak
ada satupun tulisannya yang masih tersisa, kecuali sebuah buku berjudul Hayy Ibn Yaqdzan. Tetapi kita memiliki daftar bukunya yang
disimpan oleh para biographer, dan dari judulnya kita bisa mendapatkan
informasi bahwa terlepas dari study filsafatnya, Ibn Tuffail juga menulis
buku-buku tentang biografi dan astronomi.[13] Karya tulis ibnu Tuffail yang dikenal oleh
orang sedikit sekali. Karyanya yang terpopuler dan masih dapat ditemukan sampai
sekarang ialah Hayy Ibnu Yaqdzan (Roman
Philosophyque) yang judul lengkapnya Risalah Hayy Ibn Yaqdzan Fi Asrar Al
Hikmat al-Masyrikiyyat.
Karya Ibnu Tuffail ini merupakan suatu
kreasi yang unik dari pemikiran filsafatnya. Sebelumnya, judul ini telah diberikan
oleh Ibnu Sina kepada salah satu karya esoteriknya. Demikian juga, nama tokoh
Absal dan Salman telah ada dalam buku Ibnu Sina, Salman wa Absal. Kendatipun
kisah ini tidak orisisnil, bahkan sebelum Ibnu Sina juga kisah ini sudah ada,
seperti kisah Arab kuno, Hunain Ibnu Ishaq, Salman dan Absal Ibnu Arabi dan
lain-lain namun Ibnu Tuffail berhasil menjadikan kisah ini menjadi kisah roman
filosofis yang unik.[14]
Buku hay Bin Yaqdzan merupakan kisah
filosofis sufistik yang membuat Ibnu Tuffail sangat terkenal. Buku ini telah
diterjemahkan ke bahasa Ibrani pada abad ke 14 M, diterjemahkan ke bahasa Latin
pada abad ke 17 M, serta diterjemahkan ke bahasa Inggris, Belanda, Jerman,
Spanyol, dan Prancis pada abad yang sama.
Ernst Beker menyebutkan dalam bukunya
Tarikh al Qishshat al-Injliziyah, yang diterbitkan pada tahun 1942 dan
buku-buku lain berbahasa Eropa dan Arab bahwa kisah Hayy Bin Yaqdzan karangan
Ibnu Tuffail merupakan salah satu sumber rujukan novelnya, Robenson Coroza yang
diterbitkan pada tahun 1719.[15]
IV.
KESIMPULAN
Ibnu Tufail atau Abu Bakar Muhammad ibnu
‘Abd Al- Malik ibnu Muhammad ibnu Muhammad ibnu Tufail merupakan salah satu
filsuf muslim yang terkenal. Kritik yang dilontarkan kepada para filsuf Timur
bahwa penjelasan yang mereka berikan belum memuaskan. Oleh karena itu, Ibnu
Tuffail lalu mencoba menerangkan pendapat filsafatnya dalam cerita ibarat Hayy bin Yaqdhan itu. Maksud menulis
cerita itu adalah sebagai jalan untuk menyampaikan hasrat orang yang bertanya
tentang derajat kepuasan yang selalu dibayangkan oleh kaum filsafat dan
tasawuf.
Ada beberapa pandangan Ibnu Tuffail terkait
filsafat:
1.
Ketuhanan
Yang terdiri dari adanya argument gerak, argument
materi, Argumen al-Ghaiyyat dan al-‘inayat al-Ilahiyyat.
2.
Akal
Ibnu Tuffail setuju dengan Ibnu Bajjah yang menyatakan
bahwa akal dapat membawa manusia setingkat demi setingkat dari alam kegelapan
menuju kepada cahaya yang terang benderang tentang hakikat kebenaran.
3.
Jiwa
Ibnu Tuffail meletakkan tanggung jawab manusia
dihadapan Allah atas dasar pengetahuannya tentang Allah. Orang yang mengetahui
Allah dan menjalankan kebaikan akan kekal dalam kebahagiaan. Orang yang
mengetahui Allah, tetapi terus melakukan maksiat akan kekal dalam kesengsaraan.
Orang yang sama sekali tidak pernah mengetahui Allah, jiwanya akan lenyap
seperti jiwa hewan.
DAFTAR PUSTAKA
Fakhry,
Majid. 2001. Sejarah Filsafat Islam
sebuah Peta Kronologis. Bandung: Mizan
Khan,
Ali Mahdi. 2004. Dasar-Dasar Filsafat Islam. Bandung: Nuansa
Poerwantana.
Dkk. 1988. Seluk Beluk Filsafat Islam. Bandung:
CV Rosda
Najati, Muhammad ‘Ustman. 1993. Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim.
Bandung: Pustaka Hidayah
Syarif, M. M. 1996. Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan
Zar, Sirajudin. 2004. Filsafat
Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
[1] Sirajudin Zar, Filsafat Islam, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004) , hlm. 16
[2] Ibid, hlm. 205-206
[3] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam sebuah Peta Kronologis, (Bandung: Mizan,
2001), hlm. 103-104
[4] Sirajudin Zar, Op. Cit , hlm. 205-206
[5] Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: CV Rosda, 1988), hlm. 197-198
[6] M. M. Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 180-180
[11]
Poerwantana, dkk, Op. Cit. hlm.
196
[12]
Sirajuddin ZAR, Op. Cit, hlm. 217-218
[13] Ali Mahdi Khan, Op. Cit, hlm. 98
[14] Sirajuddin ZAR, Ibid, hlm. 206-207
[15] Muhammad ‘Ustman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1993), hlm. 279-280
0 komentar:
Post a Comment