Ahwal dan Maqamat


AHWAL DAN MAQAMAT

MAKALAH
Di Susun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Bapak In’amuzahidin






Disusun oleh :
                 1.      Mahfud Sazali            : 103111122
                 2.      Malikhah                    : 103111123





FAKULTAS TARBIYAH
KEMENTERIAN AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2010


             I.      PENDAHULUAN
Ahwal merupakan situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia Allah dan bukan hasil dari usahanya,sedangkan maqamat dapat diperoleh dari usahanya orang itu sendiri. Untuk mencapai tujuan hubungan batin dan kedalaman rohaniah, jalan yang harus ditempuh oleh seorang sufi bukanlah jalan yang mudah,tidak hanya seperti ahwal yang merupakan karunia dari Allah yang bisa kita dapatkan kapan saja, namun penuh dengan rintangan dan hambatan yang membutuhkan perjuangan keras. Mereka harus menempuh tahapan-tahapan spiritual yang dalam tradisi tasawuf dinamakan dengan istilah maqam atau stasion. Untuk pindah dari satu stasiun ke stasiun berikutnya menghendaki usaha yang berat dan waktu yang tidak singkat.
Dalam makalah ini kami akan mencoba menyajikan uraian-uraian mengenai ahwal dan maqamat menurut para sufi, serta struktur maqamat dan ahwal sehingga diharapkan terangkum dalam rangkaian sejarah pemikiran tentang maqamat dan ahwal dalam tradisi tasawuf.

          II.      RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian ahwal dan maqamat?
2.      Apa perbedaan ahwal dan maqamat?
3.      Tingkatan ahwal dan maqamat?

       III.      PEMBAHASAN
A.    MAQAMAT
a.      Pengertian Maqamat
Secara etimologis Maqamat berarti jamak dari maqam yang artinya kedudukan, posisi, tingkatan(station) atau kedudukan dan tahapan dalam mendekatkan diri kepada Allah. Dan secara terminology, Maqamat berarti tempat atau martabat seorang hamba di hadapan allah pada saat dia berdiri menghadap kepada-Nya.[1]
Ada beberapa tokoh yang mendefinisikan Maqamat, diantaranya adalah :
1.      Menurut Abu Nasr As-Sarraj (salah seorang sufi) : Maqamat berarti kedudukan manusia dihadapan Allah yang disebabkan karena ibadahnya, mujahadahnya, riyadhahnya, dan pencurahan hatinya kepada Allah.
2.      Menurut Imam Al Qusyairi : Maqamat berarti tahapan adab (etika) seorang hamba dalam kepada-Nya dengan macam-macam upayanya. Diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas.[2]
  Suatu maqam tidak lain adalah merupakan kualitas kejiwaan yang bersifat tetap. Inilah yang membedakannya dengan keadaan spiritual (hal) yang bersifat sementara. Meskipun dalam hal ini juga masih terjadi perdebatan di antara para ahli.
Seseorang tidak dapat beranjak dari satu maqam ke maqam lain sebelum ia memenuhi semua persyaratan yang ada pada maqam tersebut. Sebagaimana digambarkan oleh al-Qusyairi bahwa seseorang yang belum sepenuhnya qanaah tidak bisa mencapai tawakkal. Dan siapa yang belum sepenuhnya tawakkal tidak bisa sampai pada taslim.
Barangsiapa belum taubah tidak bisa sampai pada inabat dan barang siapa belum wara’ tidak bisa mencapai zuhud, begitu seterusnya. Tahapan kedudukan spiritual ini tidak sebagaimana pemberhentian kereta api di stasiun, dimana ketika kereta api tersebut melanjutkan perjalanan menuju stasiun berikutnya, berarti meninggalkan tingkatan yang lebih rendah. Sebab, seseorang beranjak dari tingkatan (maqam) pertama ke kedudukan berikutnya, ia akan senantiasa menduduki maqam-maqam sebelumnya dan begitu seterusnya. Dengan demikian kualitas-kualitas tingkatan tersebut akan senantiasa melekat, semakin tinggi kedudukan yang dicapainya akan semakin sempurna dan utuh kualitas diri seseorang.
b.      Tingkatan Maqamat :
Mengenai struktur dan berapa jumlah maqamat yang harus ditempuh para sufi, di kalangan mereka tidak sama pendapatnya. Ada beberapa tokoh yang tentang jumlah maqamat yang harus dilalui, misalnya:
1.      Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’aruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagaimana dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’, al-taqwa, al-tawakkal ,al-ridla, al-mahabbah dan al-ma’rifah.
2.      Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh, yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-shabr, al-tawakal, dan al-ridla.
3.      Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-shabr, al-faqr, al-zuhud, al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla.[3]
Kutipan tersebut memperlihatkan keadaan variasi penyebutan tingkatan maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqamat yang oleh mereka disepakati bersama, yaitu :
1.      Al-Taubah
Taubat merupakan awal dari semua maqamat yang kedudukannya laksana pondasi sebuah bangunan. Tanpa pondasi, bangunan tidak dapat berdiri dan tanpa taubat seseorang tidak akan dapat mensucikan jiwanya dan tidak akan dapat dekat dengan Allah. Jadi taubat berarti kembali dari perbuatan tercela menuju perbuatan yang terpuji.
2.      Al-Zuhud
Menurut Al-Ghazali zuhud merupakan ungkapan ketidaktertarikan kepada persoalan dunia dan lebih tertarik kepada akherat. Jadi pada intinya adalah ketertarikan hanya kepada Allah.
3.      Al-Wara’
Yaitu meninggalkan hal-hal yang syubhat (tidak jelas halal dan haramnya) dan sesuatu yang tidak berarti yakni segala hal yang berlebihan.
4.      Al-Faqr
Yaitu ketiadaan apa yang dibutuhkan, sebab mereka hanya butuh kepada Allah.
5.      Al-Shabr
Yaitu menggunakan motivator (al-ba’its) agama yang ada dalam diri seseorang untuk mengalahkan motivator hawa nafsu.
6.      Al-Tawakkal
Tawakal bermakna “ berserah diri “. Tawakal menurut para sufi bersifat fatalis, menggantungkan segala sesuatu pada takdir dan kehendak Allah.
7.      Al-Ridla
Yaitu menyikapi segala ketentuan dan keputusan Allah dengan senang hati.
Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah, dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat. Terhadap tiga istilah yang disebut terakhir itu terkadang para ahli tasawwuf menyebutnya sebagai maqamat dan terkadang menyebutnya sebagai hal.
Dari tingkatan yang telah disepakati oleh para sufi, maka tingkatan-tingkatan tersebut harus kita lalui secara bertahap untuk mencapai pada puncak kesempurnaan rohani.
B.     AHWAL
a.       Pengertian Ahwal
Ahwal adalah jamak dari hal yang berarti keadaan atau situasi kejiwaan (state). Secara terminologis Ahwal berarti keadaan spiritual yang menguasai hati. Menurut Harun Nasution, hal merupakan keadaan mental seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Hal masuk dalam hati seseorang sebagai anugerah yang diberikan oleh Allah. Hal datang dan pergi dari diri seseorang tanpa usaha atau perjalanan tertentu. Karena ia datang dan pergi secara tiba-tiba dan tidak disengaja.
Maka sebagaimana dikatakan al-Qusyairi, bahwa pada dasarnya maqam adalah upaya (makasib) sedang hal adalah karunia (mawahib). Sehingga kadangkala hal datang pada diri seseorang dalam waktu yang cukup lama dan kadang datang hanya sekejap. [4]
Hanya saja hal tidak datang dengan tanpa kesadaran namun kedatangan hal bahkan harus menjadi kepribadian seseorang. Menurut al-Qusyairi, dalam hal mengandung keadaan-keadaan tertentu yang tidak tetap, jika keadaan ini menjadi tetap akan naik menuju keadaan lain yang lebih halus dan begitu seterusnya.
Terlepas dari semua pengertian dan karakteristik dari hal, banyak kalangan yang menyatakan bahwa jika dipahami lebih dalam, pada dasarnya hal tidak lebih merupakan bagian dari manifestasi tercapainya maqam sesuai dengan hasil usaha spiritual yang sunggh-sungguh dengan amalan-amalan yang baik dan dengan penuh kepasrahan kepada Allah. Sebab meskipun hal merupakan kondisi yang bersifat karunia namun seseorang yang ingin memperolehnya tetap harus melalui upaya dengan memperbanyak amal baik atau ibadah. Bahkan lebih jauh lagi dapat dikatakan bahwa pada dasarnya ahwal dan maqamat adalah satu kesatuan.
b.        Tingkatan dalam Ahwal :
                        Menurut Abu Nasr As-Sarraj ada 10 ahwal, yaitu ;
1.      Muroqobah
      Yaitu usaha merasakan kedekatan kepada Allah SWT atau merasa diawasi oleh Allah.
2.      Qurb
      Yaitu dekat dengan Allah SAW
3.      Mahabbah
      Yaitu cinta kepada Allah
4.      Khawf
      Yaitu takut kepada Allah
5.      Raja’
      Yaitu mengharap kepada Allah
6.      Syawq
      Yaitu rindu kepada Allah
7.      Tuma’ninah
      Yaitu merasa tentram dalam ingat kepada Allah
8.      Musyahadah
      Yaitu menyaksikan dengan hati kepada Allah
9.      Yaqin
      Yaitu percaya dengan sesungguhnya kepada Allah
10.  Uns
      Yaitu merasa gembira dalam ingat kepada Allah[5]
c.         Perbedaan Ahwal dan Maqamat :
Adapun perbedaan antara ahwal dan maqamat antara lain :
No.
Maqamat
Ahwal
1.
Sifatnya tetap, sebab untuk mencapai tingkatan maqam yang lebih tinggi, seseorang masih menguasai tingkat maqam sebelumnya
Sifatnya sementara, sebab datangnya hanya sekejap saja
2.
Diusahakan melalui perjuangan spiritual yang panjang dan melelahkan
Tidak diusahakan, sebab merupakan anugerah dari Allah
3.
Suatu pencapaian seseorang
Karunia yang datang begitu saja
Meskipun hal dan maqamat memiliki perbedaan, namnn hal dan maqamat bagaikan dua sisi mata uang yang berbeda yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling berkaitan, antara satu dengan yang lain. Karena kenaikan maqam dari satu jenjang ke jenjang berikutnya tidak terlepas dengan hal yang telah sempurna. Oleh karena itu hal yang bersifat mawhibah itu, dapat menaikkan maqam yang diperoleh melalui usaha ke jenjang yang lebih tinggi.[6]

       IV.      ANALISA
Pada dasarnya ahwal dan maqamat merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Ahwal merupakan karunia dari Allah SWT sedangkan maqamat merupakan tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh seorang hamba dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Oleh karena itu, kita harus senantiasa mendekatkan diri kita kepada Allah SWT, agar kita lebih didekatkan kepada hal, dan kita mampu mencapai tingkatan-tingkatan dalam proses mendekatkan diri kepada Allah.

          V.      KESIMPULAN
Dari keseluruhan uraian di atas menunjukkan bahwa secara teoritis para ahli tasawuf sepakat dengan adanya maqamat dan ahwal. Namun pada tataran konseptual dan interpretatif, para ahli tasawuf memiliki uraian tersendiri berdasarkan pengalaman masing-masing. Karena pada dasarnya, pencapaian maqamat dan ahwal adalah merupakan pengalaman spiritual yang bersifat pribadi, sehingga yang mengetahui secara persis adalah seseorang yang mengalaminya secara langsung.





DAFTAR PUSTAKA

An-Najr, Amir, 2001, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf, Jakarta, Pustaka Azam
Masyhudi, In’amuzzahidin, 2007, Wali Gila, Semarang, Syifa Press
Muhammad, Hasyim, 2002, Dialaog Antara Tasawuf dan Psikologi, Semarang, Prima Donna
Nasirudin, 2008. Historitas dan Normativitas, Jakarta, Akfi  Media
Solihin, 2002, Kamus Tasawuf, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya
http://tasawuf.multiply.com



[1].M.Solihin, Kamus Tasawuf, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), hlm.126
[2] Nasirudin, Historitas dan Normativitas, (Jakarta:Akfi  Media , 2008), hlm.65
[3] Nasirudin, Ibid, hlm.63-64

[4] Nasirudin, Op.cit, hlm.16
[5] http://tasawuf.multiply.com
[6] In’amuzzahidin Masyhudi, Wali Gila, (Semarang: Syifa Press, 2007), hlm.34

0 komentar:

Post a Comment

 
MALIKHAH SAN © 2012 | Edited Designed by Kurungan Celotehan