Oleh, Malikhah*
Kader merupakan ruh dari suatu organisasi,
terutama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). PMII sebagai organisasi
pengkaderan, tentunya harus mampu mencetak kader-kader yang militan dan loyal
terhadap organisasi PMII. Loyalitas atau sering disebut dengan kesetiaan,
menjadi harga mati yang harus dimiliki oleh setiap kader. Setidaknya,
kader-kader PMII selalu ingat bahwa dirinya merupakan kader PMII, sehingga
doktrin ke-PMII-an harus mendarah daging ditubuh setiap kader.
Keloyalitasan seorang kader tidak bisa kita
ukur sebatas keaktifannya di PMII, namun lebih dari itu. Banyak hal yang dapat
menjadi tolok ukur, misalnya saja keikhlasan dalam menjalankan roda organisasi.
Dan hal tersebut, tentunya hanya dapat diukur dari dalam diri masing-masing
individu. Loyalitas seorang kader, juga harus dibarengi dengan kualitas diri.
Kader-kader PMII yang memiliki peranan penting
dalam intra kampus, harusnya patut menjadi contoh dalam segala bidang. Namun,
peran mahasiswa dalam intra kampus sekarang cenderung tenggelam dalam dunia
politik kampus. Ironisnya, peran serta dalam politik kampus tidak diimbangi
dengan progresifitas mereka dalam pengembangan keilmuan dan intelektual.
Lantas dampaknya akan sangat fatal. Ketika kader-kader
PMII harus berperan dalam dunia politik kampus, dan tidak diimbangi dengan
keilmuan yang matang, yang terjadi hanyalah progresifitas tanpa kualitas.
Kecendrungan kader PMII yang terseret pada persoalan politik akan semakin
terasa. Dampaknya lain, nuansa kepentingan baik dari masing-masing kader maupun
kelompok sangat terasa sensitif. Sehingga nuansa universalisme PMII sebagai
gerbang awal dan utama serta sebagai aktor utama semakin tergerus oleh sebuah
kepentingan.
Tidak
dapat dipungkiri lagi, bahwasanya kader PMII memang harus terlibat dalam student
goverment. Hal ini merupakan wujud nyata kader PMII sebagai mahasiswa yang
memikul tanggungjawab sebagai agen social of change dan agen social
of control. Melihat kekuasaan yang ada didalam kampus memang perlu
pembenahan. Karena kekuasaan dalam kampus tersebut sarat akan tanda tanya dan
kekuasaan tersebut berpotensi untuk menyimpang, maka kita harus lebih pintar
dalam menghadapi birokrasi kampus.
Permasalahan kemiskinan ilmu juga dapat
berpotensi pada hal-hal lain. Romantisme dunia politik, hanya akan membius para
kader akan dapat mengubah orientasi kader. Kecenderungan untuk membawa
persoalan kepada masalah politik, akan terlihat jelas. Sehingga persoalan
apapun pasti dikaitkan dengan kata “politik”. Romantisme terhadap dunia politik
hanya akan menjadikan high intensity conflik yakni tingginya intensitas
konflik terutama antar kader ataupun antar kelompok. Jika demikian, tujuan dan
peran PMII akan terkalahkan karena adanya hegemoni politik yang tinggi.
Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang dapat
kita lakukan untuk menyikapi hal tersebut.
Pertama, rekonstruksi ulang pola pengkaderan. Selama
ini, orientasi awal perekrutan kader, hanya sebatas bagaimana mendapatkan kader
dalam jumlah yang banyak. Kuantitas kader memang perlu dipertimbangkan, namun
prioritas utama harusnya yakni pembangunan dan pemberdayaan kader dalam bidang
keilmuan.
Kedua, internalisasi Nilai-nilai Dasar Pergerakan
(NDP). Dengan pembekalan NDP yang kuat dan mampu mengakar dalam diri kader,
maka akan terbentuk pribadi kader yang loyal. Sehingga ketika mereka harus
terlibat dalam dunia perpolitikan kampus dan harus dihadapkan dengan berbagai
konflik, seorang kader tidak akan “lupa” dengan PMII.
Ketiga, bekali kader-kader dengan berbagai wacana
keilmuan yang dapat digunakan ketika dia beraktualisasi di lingkungan kampus.
Sehingga peran serta kader dalam dunia politik dikampus akan berkualitas.
Selain itu, dengan pembangunan kapasitas diri kader (capacity building)
akan menghasilkan kader-kader yang kritis dan responsif dalam menghadapi
isu-isu yang ada dalam kampus.
*Penulis
adalah mahasiswa Pendidikan Akuntansi Islam*
0 komentar:
Post a Comment