About Me

Malikhah; seorang ibu rumah tangga yang juga ASN dan aktif mengajar di SMPN 1 Singorojo. Lahir pada tanggal 28 Oktober 1991, dengan semangat sumpah pemuda semangat menulis untuk meninggalkan jejak digital yang bisa bermanfaat untuk semua.

Kebijakan yang Bersinergi

Ingar bingar gerakan antikorupsi di Indonesia seolah semakin gencar diwacanakan di ruang-ruang publik. Hal ini terlihat dengan adanya kebijakan terkait pendidikan anti korupsi yang digagas oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Meskipun pendidikan anti korupsi telah lama diwacanakan, namun gerakan yang dibangun masih terlihat stagnan.
Dengan menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kemendikbud harus lebih serius dalam menggarap program ini. Kerjasama yang dilakukan untuk memasukkan pendidikan anti korupsi ke dalam kurikulum perlu didukung dari seluruh pihak. Pasalnya, korupsi yang semakin menjamur dikalangan petinggi negara, justru membuat mereka tidak kapok untuk melakukan tindakan yang sama. Mereka justru dengan mudah keluar masuk penjara. Rekaman pembicaraan oknum Jaksa Agung dan pihak kepolisian dengan mafia hukum menjadi bukti adanya kecacatan hukum. Hal ini mengindikasikan bahwa koruptor adalah orang yang memiliki kekuatan luar biasa yang mampu membebaskan dirinya dari hukuman pidana.
Ketika hukum ikut tercacati, harusnya pendidikan menjadi garda terdepan untuk mengawali upaya pemberantasan korupsi. Upaya pemberantasan korupsi tidak hanya bersifat kuratif (penyembuhan), tetapi juga harus dilakukan dengan upaya preventif (pencegahan). Memulai dengan membangun pribadi-pribadi yang tidak korup dari lembaga pendidikan yang paling dini. Pendidikan anti korupsi ini juga harus diberikan secara continue. Artinya, diberikan semenjak pendidikan dini hingga perguruan tinggi.
Disisi lain, pendidikan antikorupsi juga harus diberikan kepada petinggi negara, yang “mungkin” sudah lupa bahwa korupsi adalah perilaku menyimpang dan merugikan masyarakat. Dengan pendidikan anti korupsi yang berkesinambungan, maka akan tertanam jiwa anti korupsi yang kuat, sehingga akan memberikan dampak jangka panjang. Yang terpenting, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia juga harus dikawal oleh gerakan masyarakat sipil dan tidak hanya cukup menyandarkannya pada lembaga formal seperti sekolah.
Sudah saatnya para petinggi negara membuka mata dan telinga mereka agar benar-benar menyadari jika korupsi sangat merugikan rakyat dan meninggalkannya. Pendidikan anti korupsi juga harus didukung oleh berbagai pihak, agar hasil yang didapat tidak hanya teori saja, namun ada praktek langsung yang dapat dilakukan.

Nama               : Malikhah
Alamat              : Perumahan BPI Blok K25, Ngaliyan Semarang
No. Hp             : 08995526088
PT                    : IAIN Walisongo Semarang
Fakultas            : Tarbiyah

Aplikasi Pendidikan Anti Korupsi

Kata “korupsi” kini menjadi konsumsi yang harus masuk kedalam telinga masyarakat sehari-hari. Seolah korupsi menjadi teman akrab yang tiada henti dikumandangkan di ruang publik. Curiga, ketika penetrasi kata korupsi menjadi semakin bersahabat di telinga masyarakat, jangan-jangan masyarakat sudah kehilangan esensi dari makna korupsi itu sendiri. Pasalnya jika terlalu rutin untuk disuguhkan, masyarakat menjadi tidak tabu dan khawatirnya mereka tidak mau tahu persoalan krusial ini.
Segala bentuk pesimis ini, akhirnya terjawab dengan adanya kebijakan terkait pendidikan anti korupsi yang digagas oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Kemendikbud yang bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi langkah baik. Kerjasama yang dilakukan untuk memasukkan pendidikan anti korupsi ke dalam kurikulum perlu didukung dari seluruh pihak. Pasalnya, korupsi yang semakin menjamur dikalangan petinggi negara. Seolah-olah korupsi menjadi budaya yang semakin berkembang disegala bidang. Hal ini mengindikasikan gagalnya pendidikan moral yang sebelumnya telah diberikan dibangku sekolah. Banyak dari mahasiswa yang menomorsatukan idealisme mereka ketika dibangku kuliah untuk menyuarakan “berantas korupsi”. Mereka juga menjadi garda terdepan dalam menentang korupsi. Namun, realita yang terjadi ketika mereka duduk manis di pemerintahan, justru merekalah yang menjadi bandit kelas kakap untuk melakukan tindakan korupsi. Sebuah penghianatan anak bangsa yang terlihat nyata.
Wacana terkait pendidikan korupsi memang harus diberikan secara continue. Artinya, bermula dari pendidikan dini hingga perguruan tinggi. Pendidikan antikorupsi juga harus berlanjut untuk diberikan kepada petinggi negara, yang “mungkin” sudah lupa bahwa korupsi adalah perilaku menyimpang dan merugikan. Dengan pendidikan korupsi yang berkesinambungan, maka akan tertanam jiwa anti korupsi yang kuat, sehingga akan memberikan dampak jangka panjang.
Oleh karena itu, terobosan untuk memasukkan pendidikan anti korupsi kedalam kurikulum menjadi penting untuk segera dilaksanakan secara. Tidak hanya itu, harus ada praktek langsung untuk menanamkan jiwa anti korupsi. Seperti halnya kantin kejujuran yang telah lama digalakkan. Ini harus dikembangkan, sebab menjadi salah satu aplikasi untuk mendidik anak berbuat jujur dan tidak melakukan korup.

Nama               : Malikhah
Alamat              : Perumahan BPI Blok K25, Ngaliyan Semarang
No. Hp             : 08995526088
PT                    : IAIN Walisongo Semarang
Fakultas           : Tarbiyah

Kebijakan yang Bersinergi

Ingar bingar gerakan antikorupsi di Indonesia seolah semakin gencar diwacanakan di ruang-ruang publik. Hal ini terlihat dengan adanya kebijakan terkait pendidikan anti korupsi yang digagas oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Meskipun pendidikan anti korupsi telah lama diwacanakan, namun gerakan yang dibangun masih terlihat stagnan.
Dengan menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kemendikbud harus lebih serius dalam menggarap program ini. Kerjasama yang dilakukan untuk memasukkan pendidikan anti korupsi ke dalam kurikulum perlu didukung dari seluruh pihak. Pasalnya, korupsi yang semakin menjamur dikalangan petinggi negara, justru membuat mereka tidak kapok untuk melakukan tindakan yang sama. Mereka justru dengan mudah keluar masuk penjara. Rekaman pembicaraan oknum Jaksa Agung dan pihak kepolisian dengan mafia hukum menjadi bukti adanya kecacatan hukum. Hal ini mengindikasikan bahwa koruptor adalah orang yang memiliki kekuatan luar biasa yang mampu membebaskan dirinya dari hukuman pidana.
Ketika hukum ikut tercacati, harusnya pendidikan menjadi garda terdepan untuk mengawali upaya pemberantasan korupsi. Upaya pemberantasan korupsi tidak hanya bersifat kuratif (penyembuhan), tetapi juga harus dilakukan dengan upaya preventif (pencegahan). Memulai dengan membangun pribadi-pribadi yang tidak korup dari lembaga pendidikan yang paling dini. Pendidikan anti korupsi ini juga harus diberikan secara continue. Artinya, diberikan semenjak pendidikan dini hingga perguruan tinggi.
Disisi lain, pendidikan antikorupsi juga harus diberikan kepada petinggi negara, yang “mungkin” sudah lupa bahwa korupsi adalah perilaku menyimpang dan merugikan masyarakat. Dengan pendidikan anti korupsi yang berkesinambungan, maka akan tertanam jiwa anti korupsi yang kuat, sehingga akan memberikan dampak jangka panjang. Yang terpenting, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia juga harus dikawal oleh gerakan masyarakat sipil dan tidak hanya cukup menyandarkannya pada lembaga formal seperti sekolah.
Sudah saatnya para petinggi negara membuka mata dan telinga mereka agar benar-benar menyadari jika korupsi sangat merugikan rakyat dan meninggalkannya. Pendidikan anti korupsi juga harus didukung oleh berbagai pihak, agar hasil yang didapat tidak hanya teori saja, namun ada praktek langsung yang dapat dilakukan.

Nama : Malikhah
Alamat : Perumahan BPI Blok K25, Ngaliyan Semarang
PT : IAIN Walisongo Semarang
Fakultas : Tarbiyah

Lindungi Diri Lewat Bela Diri

Kini kejahatan seolah menjadi sahabat yang selalu terdengar diruang-ruang publik. Banyak kejahatan yang siap mengintai korbannya. Tidak pandang siapa korbannya, baik laki-laki maupun wanita. Maraknya kejahatan yang dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab mengharuskan kita untuk selalu waspada setiap saat. Seringkali wanita menjadi sasaran utama tindakan kejahatan. Pemerkosaan, perampokan, dan penjambretan menjadi “hobi” pelaku kejahatan dan dilakukan di tempat-tempat strategis.
Bela diri merupakan cara untuk melindungi kita dari kejahatan tersebut. Karate menjadi salah satu cabang bela diri yang tepat untuk dikuasai. Dengan menekankan aspek kekuatan tangan, kita dapat melindungi diri dari serangan penjahat. Selain untuk melindungi diri, belajar karate juga dapat membangun karakter, mental, dan kemampuan seseorang.
Perlu diingat, bahwasanya bela diri harus digunakan sesuai dengan porsinya. Artinya, bela diri sebagai salah satu olah raga tidak semata-mata digunakan untuk berkelahi. Lebih daripada itu, bela diri juga dapat digunakan ketika kita sedang dalam kondisi terpaksa. Oleh karena itu, sangat diperlukan pendidikan bela diri terutama untuk kaum wanita. Dengan kemampuan bela diri, wanita akan aman ketika pergi sendirian dimanapun tempatnya.


Nama : Malikhah
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Fakultas : Tarbiyah, IAIN Walisongo Semarang

Koruptor, Wajib Dibinasakan

Kata “korupsi” kini menjadi konsumsi masyarakat sehari-hari. Seolah korupsi menjadi teman akrab yang tiada henti dikumandangkan di ruang publik. Jelas korupsi menjadi tindakan yang sangat merugikan masyarakat. Bandit-bandit kelas kakap alias koruptor seolah kebal hukum. Banyaknya uang yang mereka miliki, seringkali digunakan untuk “membeli” hukum.
Pelakunya tidak perlu dibina tapi wajib “dibinasakan” sehingga tidak ada lagi korupsi. Hukuman mati memang pantas untuk koruptor, sehingga tidak ada kata suap karena adanya ketegasan hukum. Dengan hukuman mati yang tegas, pastinya akan membuat efek jera terhadap pelaku berikutnya.



Nama : Malikhah
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Fakultas : Tarbiyah, IAIN Walisongo Semarang

Jurnal “Ecek-Ecek”

Kali ini kegalauan pemerintah akan nasib bangsanya termaktub dalam salah satu kebijakan yang dikeluarkan baru-baru ini. Kebijakan tentang pembuatan jurnal ilmiah untuk mahasiswa S1, S2, dan S3 sebagai syarat lulus mengundang kontroversi. Mengingat di Indonesia masih jarang jurnal ilmiah yang diterbitkan. Terobosan pemerintah untuk mewajibkan pembuatan jurnal ilmiah cenderung tergesa-gesa. Pasalnya, pemerintah terkesan gengsi karena jurnal ilmiah yang dimiliki Indonesia masih sedikit dibanding dengan negara tetangga. Sehingga mahasiswa yang akan lulus “dipaksa” untuk membuat jurnal ilmiah.
Dalam pembuatan jurnal ilmiah tentunya banyak sarana prasarana (sarpras) yang dibutuhkan. Jika Perguruan Tinggi (PT) tersebut telah memiliki wahana penelitian yang maksimal sebagai pendukung pembuatan jurnal ilmiah, pastinya akan mempermudah dalam pembuatannya. Namun, tidak semua PT memiliki kelengkapan sebagai wahana penelitian dalam pembuatan jurnal ilmiah.
Sebaiknya pemerintah mempersiapkan sarpras yang diperlukan dalam pembuatan jurnal ilmiah. Hal ini diperlukan untuk menjaga kualitas dan kredibilitas sebuah karya ilmiah sebelum dipublikasikan secara luas. Jika pemerintah mewajibkan adanya jurnal ilmiah tanpa ada persiapan yang matang, maka banyak mahasiswa yang asal-asalan dalam membuat jurnal tersebut. Padahal, dalam pembuatan jurnal ilmiah tentunya ada proses seleksi dan beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh mahasiswa agar karyanya dapat dipublikasikan. Hal ini, tentunya membutuhkan proses dan sarpras yang memadai untuk mendukung pembuatan jurnal tersebut.
Ada aturan untuk menjaga kualitas dan kredibilitas karya ilmiah, yakni Permendiknas Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. Peraturan tersebut dikeluarkan untuk mencegah terjadinya penjiplakan karya ilmiah milik orang lain. Seringnya terjadi plagiat oleh beberapa orang, tentunya peraturan ini harus benar-benar dilaksanakan sesuai prosedur. Sehingga jurnal ilmiah yang terbit memiliki kualitas yang bagus, tanpa ada unsur plagiat.
Kesiapan dan kelengkapan yang dibutuhkan untuk menunjang pembuatan jurnal ilmiah ini harus dipersiapkan dengan matang terlebih dahulu. Dampak jangka panjang dari kebijakan yang diambil juga harus diperhatikan kembali. Harus ada skala prioritas terkait kebijakan yang akan diambil, sehingga hasil yang akan didapat akan maksimal. Dan tidak lagi ada jurnal “ecek-ecek” yang dihasilkan.

 
MALIKHAH SAN © 2012 | Edited Designed by Kurungan Celotehan