About Me

Malikhah; seorang ibu rumah tangga yang juga ASN dan aktif mengajar di SMPN 1 Singorojo. Lahir pada tanggal 28 Oktober 1991, dengan semangat sumpah pemuda semangat menulis untuk meninggalkan jejak digital yang bisa bermanfaat untuk semua.

Ciptakan Kedamaian, Lewat Dialog Umat


Semarang-Lembaga Kajian dan Penerbitan bekerja sama dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam (HMJ PAI) menggelar diskusi publik (29/3) di Auditorium kampu 1 IAIN Walisongo Semarang. Inklusifitas beragama dalam perspektif aliran agama Islam di Indonesia ini menjadi topik dalam diskusi publik ini. Turut hadir dalam acara tersebut yakni dari ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), dan juga guru besar IAIN Walisongo Semarang. 
Inklusifitas menjadi hal penting dalam bersikap. Singgih Saptadi dari HTI mengungkapkan bahwa munculnya konflik di Indonesia ini diakibatkan oleh adanya perbedaan. “Boleh anggap benar, namun yang lain juga boleh benar”, tutur Saptadi. Dalam perspektif HTI, bahwa inklusifitas inklusifitas ini sudah tidak relevan untuk dilakukan. Menurutnya, karena HTI bertujuan untk mengembalikan kehidupan Islam, maka Khilafah Islamiah lah yang mampu menjadi solusi adanya konflik yang terjadi. Khilafah Islamiah disini merupakan kepemimpinan tunggal yang didasarkan atas syariat Islam. “Jika Khilafah Islamiah tidak ada, maka Islam tidak ada, se ekstrim itukah HTI?”, tanya Muhammad dari kelompok diskusi Ahlussunnah Wal Jamaah. Menanggapi hal tersebut, Saptadi mengklarifikasi bahwasanya pernyataan yang dimaksud itu adalah Islam tidak akan sempurna tanpa Khilafah Islamiah, bukan tidak ada Islam.
Berbeda dengan sudut pandang HTI yang menganggap bahwa sikap inklusif tidak diperlukan. LDII justru mengakui pentingnya inklusifitas dalam beragama. “Untuk menyikapi permasalahan perubahan yang terjadi, LDII mempertimbangkan lingkungan strategis dalam masyarakat”, ungkap Singgih Tri Sulistyono selaku ketua LDII Jawa Tengah. Dalam penyampaiannya, dia juga menjelaskan bahwa sebagai warga Indonesia perlu mengakui keragaman yang ada di Indonesia. “Menghormati adanya perbedaan merupakan sunatullah”, tandas Singgih yang juga dosen di Universitas Diponegoro.
Budaya yang ada dalam masing-masing aliran agama Islam pun beragam. “Apakah benar kalo orang non LDII sholat di masjid LDII lantainya dibersihkan?”, tanya  M. Ulin Nuha, mahasiswa PAI. Menanggapi hal tersebut, Singgih menyatakan bahwa itu merupakan budaya orang LDII masa lalu, untuk saat ini tidak semuanya menerapkan hal tersebut. “Untuk menjaga kesucian, maka kami cenderung berhati-hati untuk menjaga kebersihan, jadi wajar jika terkadang harus dibersihkan”, jelasnya.
Agama menjadi unsur penting dalam kehidupan. “Agama punya kekuatan yang supra”, tutur Suparman, Guru Besar IAIN WS. Menurutnya, kekuatan yang maha dahsyat ini dapat dirasakan sangat mendalam, pengaruhnya sangat kuat bagi kehidupan masyarakat. “Tidak akan muncul kedamaian tanpa dialog antar umat beragama”, pungkas Suparman.


Lap. Malikhah, Novita Nur Inayah

Skema Rijal... Yuk Belajar


Skema Rijalul Hadits Dari Hadits Amar Ma’ruf Nahi Munkar
مراجع
قول النقاد
روى عنه
روى عن
توفى
كنية ولقب
نسب
اسم
رمز

العجلى : وهو ثقة

اسما عيل بن ا بى خالد,وقيس بن مسلم,ومخا رق الا حمس, وعلقمة بن مر ثد, وسماك بن حر ب, و جماعة                   

٨٢
٨٣
٨٤
ابو عبد الله الكو فى
بن عبد شمس بن هلا ل بن سلمة بن عو ف بن جشم البجلى الا حمسى
طارق بن شها ب
١

على عن يحيى : كان مرجئا, وهو أثبت من أبى قيس
أبو داود : كان مرجئا
الأ عمش, وشعبة, والثورى, ومسعر
طارق بن شهاب, والحسن ابن محمد بن الحنفية, ومجاهد, وعبدالرحمن بن أبى ليلى
١٢٠
ابو اعمر و الكوفى
الجدلى العدوانى
قيس بن مسلم
٢

ابن سعد : كا ن ثقة
العجلى : ثقة     
أيوب, والأعمش, وسعد بن ابراهيم, ومحمد بن جعفر
ابراهيم بن عا مر بن مسعود, و ابرهيم بن محمد المنتشر, واسماعيل بن ابي جالد, و قيس بن مسلم
١٦٠

أبو بسطا م الو اسطى
بن الحجاج بن الورد العتكى الأزدى
شعبة
٣

ابن المد ينى : هو أحب إلى من عبد الر حمن فى شعبة
ابن مهدى : كنا نستفيد من كتب غند ر فى حيا ة شعبة, وكا ن وكيع يسميه الصحيح الكتاب
احمد بن حنبل, واسحاق بن راهويه, ويحيى بن معين, وعلى بن المدينى, وأبوموسى
شعبة, وعبدالله بن سعيد ابن أبى هند, وعوف الأعرابى, ومعمر بن راشد
٢٣٦
٢٣١
ابو عبدالله البصر ى المعروف بغند ر, صاحب الكر ابيس
.....................................
محمد بن جعفر
٤

عبدالله بن أحمد عن ابن معين : ثقة
أبوحاتم : صا لح الحديث, صدوق
..........
...........
٢٥٢
٢٥١
٢٥٠
أبو مو سى البصرى
بن عبيد بن قيس بن دينار العنزى
محمد بن المثنى
٥

على بن المدينى : ما فى أصحا ب الز هر ى أتقن من ابن عيينة
وقا ل العجلى : ثقة
الأعمش, وابن جر يج, وشعبة, ووكيع
الاسود بن قيس, وحميد بن قيس الاعرج, عبد الملك بن عمير, وايوب ابن موسى
١٩٨
١٩٧
ميمون الهلا لى, أبو محمد الكو فى
بن عيينة بن أبى عمران
سفيان
٦





أبو سفيا ن الكو فى الحا فظ
بن الجراح بن مليح الر ؤاسى
وكيع
٧

العجلى : ثقة, وكان حافظا للحد يث
أبو حاتم وابنخراش : ثقة

ومسلم, وأبو داود, وابن ماجه, وزكريا السا جى
أبى الأ حوص, وعبد الله بن ادريس, وابن المبارك, ووكيع
٢٣٥
......................
ابراهيم بن عثما ن بن خوا ستى العبسى
أبو بكر بن أبي شيبة
٨



Perketat Uang Saku Anak

Merokok menjadi aktivitas wajib bagi penikmatnya. Sehari tanpa makan lebih mudah daripada sehari tanpa rokok. Rokok menjadi kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh perokok. Puluhan korek disulut hanya untuk menikmati sejengkal rokok karena memiliki kenikmatan tersendiri.
Kenikmatan yang dirasakan diri sendiri sering kali menimbulkan sikap egois seseorang. Banyak perokok “egois” yang merokok di tempat umum. Kenikmatan yang dirasakan oleh para perokok terkadang membuat perokok tak memperdulikan orang sekitar. Seperti kita ketahui, perokok pasif (orang yang tidak merokok namun terkena asap rokok) lah yang menjadi korban paling rawan.
Patut Waspada
Tak heran jika banyak kalangan menghabiskan uangnya hanya untuk menikmati rokok. Rokok yang dijadikan kebutuhan primer, menjadi satu kebutuhan yang harus dipenuhi. Jika dianalogikan, rokok menjadi sumber makanan utama bagi pemakainya.

Jangan terbuai kenikmatan sesaat, ingat kesehatan. Rasanya ketegasan pada diri sendirilah yang dapat mendorong seseorang untuk mengurangi intensitas merokoknya. Gunakan uang saku dari orang tua untuk kebutuhan yang lebih bermanfaat ketimbang membeli rokok. Para orang tua juga harus mengontrol uang saku anaknya. Berikan sesuai kebutuhan anak dan jika perlu perketat uang saku anak. Dengan ketegasan orang tua, akan membuat anak tidak semena-mena menggunakan uang untuk membeli rokok.

Detik-Detik Menjelang UN

Oleh, Malikhah
Ujian Nasional (UN) sudah dipelupuk mata. Senin (15/04) UN akan dilaksanakan untuk jenjang Siswa Menengah Atas (SMA). Agenda yang digelar setiap tahun ini menjadi satu momentum yang sering menghantui beberapa siswa. Sebagian siswa yang tidak siap, atau depresi akibat ketakutan menghadapi UN menyisakan banyak cerita. Kasus bunuh diri akibat depresi menghadapi UN menjadi salah satu pemberitaan yang ramai dibicarakan di media.
Mengurai fenomena tersebut, tentu menjadi sebuah keprihatinan dalam dunia pendidikan. Persiapan menjelang pelaksanaan UN pun sering menuai banyak permasalahan. Diantara permasalahan tersebut yakni soal-soal UN yang bocor, jual beli jawaban UN, dan juga membuat contekan demi mengejar nilai. Selama ini, para joki yang menjual kunci jawaban UN banyak beredar, dan siswa yang akan mengikuti ujian menjadi sasaran empuk. Sudah menjadi hal yang tidak tabu, demi mengejar kelulusan, beragam usaha dilakukan.
Obsesi Lulus 100%
Bergaining suatu sekolah akan naik ketika sebuah sekolah mampu menghasilkan lulusan yang berkompeten. Namun, sering disalahartikan bahwa ketika suatu sekolah mampu meluluskan siswanya 100%, sekolah itu dinilai berkualitas. Imbasnya, sekolah-sekolah baik swasta maupun negeri berlomba-lomba untuk mengejar target lulus 100% bagaimanapun caranya. Tidak jarang, demi menaikkan bergaining sekolah, siswa dikerahkan untuk bahu membahu dalam membantu temannya untuk memberikan jawaban UN. Bahkan, beragam strategi dilakukan, semisal dengan memberikan kode jawaban, memasang beberapa jawaban di kamar mandi, dan strategi lain yang dapat membantu siswa yang tidak dapat mengerjakan UN.
Ambisi sekolah yang terlalu besar untuk meluluskan seluruh siswanya dalam UN, dapat berdampak buruk baik bagi siswa maupun guru. Ambisi sekolah dalam mengejar kelulusan dengan dibarengi tuntutan yang ditekankan pada siswanya justru akan membuat senjata makan tuan. Bisa saja siswa menjadi stres ketika siap, baik secara mental dan fisik. Padahal, jika ditelisik lebih jauh, lulus 100% bukanlah jaminan bahwa sebuah sekolah itu memiliki lulusan yang berkompeten secara keseluruhan.
Fenomena yang marak terjadi seperti kasus bunuh diri akibat ketakutan menghadapi UN tentu menjadi bahan evaluasi bagi pendidikan di Indonesia. Kesehatan mental tentu akan terganggu ketika ditekan untuk memenuhi sebuah tuntutan. Menurut Killander (1957:12) bahwa orang yang memiliki mental sehat adalah orang yang memperlihatkan kematangan emosional, kemampuan menerima realitas, kesenangan hidup bersama orang lain, dan memiliki filsafat atau pandangan hidup pada saat ia mengalami komplikasi kehidupan sehari-hari sebagai kehidupan. Untuk itu, persiapan dalam menghadapi UN, tidak hanya difokuskan terhadap materi pelajaran saja, terlebih berusaha menyusun strategi kecurangan dalam menghadapi UN. Persiapan mental siswa perlu digembleng lebih dalam, sehingga anak tidak kaget ketika menghadapi UN yang sering menjadi momok bagi mereka.
Pembelajaran yang menyenangkan bisa jadi satu alternatif untuk menghidupkan semangat siswa dalam menghadapi UN. Namun, menjelang detik-detik pelaksanaan UN ini, peran orang tua menjadi sangat urgen. Pengawalan orang tua untuk mengkondisikan anak baik secara fisik maupun secara mental sangat dibutuhkan. Mental anak harus dipersiapkan untuk menghadapi hasil yang nantinya didapat dari UN. Kondisi perasaan yang senang ketika akan menghadapi UN, sangat berdampak positif bagi anak. Sehingga siswa tidak merasa stres ketika harus menghadapi UN.

                                                                        *Mahasiswa Fakultas Tarbiyah

                                                                        Direktur Lembaga Kajian dan Penerbitan

Membongkar Kekerasan Simbolik

*Oleh, Malikhah
            Kekerasan di Indonesia menjadi isu hangat yang menjadi perbincangan media massa. Beragam kekerasan yang terjadi semisal kekerasan antar warga negara, antar agama, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, dan kekerasan fisik yang lain. Kekerasan dalam hal ini selalu mendapatkan perhatian di depan hukum. Pelaku kekerasan dapat dihukum sesuai dengan tingkat tindakan yang dilakukan. Rendahnya moral seseorang, menumbuh suburkan kekerasan di Indonesia. Jelas, degradasi moral semakin menjadi musuh besar di bumi pertiwi.
            Kekerasan diatas, merupakan simbolisasi pelanggaran Hak Asasi Manusi (HAM).  Berbagai kasus pelanggaran HAM semakin tumbuh subur. Para aktivis HAM juga turut aktif dalam menangani kasus pelanggaran tersebut. Namun, berbanding terbalik dengan adanya kekerasan simbolik yang kurang mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan.
            Menurut teorinya Pierre Bourdieu, seorang sosiolog asal Prancis mengatakan bahwa kekerasan simbolik merupakan mekanisme kekerasan yang dilakukan oleh kelas dominan (biasanya kelas borjuis) terhadap kelas proletar dalam bentuk non fisik. Artinya, kekerasan simbolik dilakukan secara perlahan namun pasti. Hal ini tidak lain untuk melanggengkan sebuah kekuasaan, kekerasan simbolik menjadi salah satu jalan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok penguasa (golongan dominan).
            Sektor pendidikan menjadi salah satu sasaran empuk adanya kekerasan simbolik ini. Secara tidak sadar, mereka terutama kelas proletar telah mengalami kekerasan simbolik. Adanya pembagian kelas sosial, terkadang membuat sekat dalam bersosialisasi antar siswa. Kekerasan simbolik yang bertujuan melanggengkan kekuasaan ini tentunya selalu ingin berkuasa. Dalam teorinya Ivan Illich, dalam dunia pendidikan, kelas dominan mempertahankan posisinya sebagai penguasa melalui hidden curriculum. Sekolah mempengaruhi sikap dan kebiasaan siswa dengan menggunakan budaya kelas dominan. Siswa dari latar belakang kelas bawah/ kalangan menengah kebawah mengembangkan cara bicara dan bertindak seperti yang biasa dilakukan oleh kelas dominan/ golongan atas. Hal ini disebabkan karena adanya “modal” yang berbeda. Modal dalam hal ini seperti sumber daya manusia dari golongan atas yang telah mendapatkan beragam bekal materi melalui bimbingan belajar (bimbel). Selain itu, modal disini juga diartikan sebagai akses, artinya akses yang diperoleh kalangan atas lengkap dan mudah diakses. Imbasnya, di sekolah-sekolah terkadang guru menyampaikan pelajaran tidak secara penuh, karena menganggap pelajaran mampu diakses diluar kelas melalui bimbel.
            Kekerasan simbolik lain yang sering terjadi dilakukan dengan dua cara. Pertama, eufenisme, artinya kekerasan ini dilakukan secara halus bahkan tidak nampak sama sekali. Sehingga banyak kalangan yang tidak menyadari jika dirinya telah mengalami kekerasan. Eufinisme dapat berupa kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, sopan santun, dan lain sebagainya. Kekerasan ini dilakukan sebagai doktrinasi terhadap suatu golongan untuk patuh dan menuruti segala perintah. Kedua, mekanisme sensorisasi yang menjadikan kekerasan simbolik nampak sebagai bentuk sebuah pelestarian semua bentuk nilai yang dianggap sebagai “moral kehormatan.” Yang dipertentangkan dengan “moral yang rendah”. Akibatnya terjadi penilaian terhadap seseorang, semisal baik buruk, benar salah. Kekerasan yang jarang diperbincangkan ini menjadi refleksi bersama. Kekerasan dalam bentuk apapun harus harusnya tidak terjadi hanya demi pelanggengan kekuasaan. Terlebih memilih sektor pendidikan menjadi sasaran empuk dalam menciptakan sebuah kekerasan.

                                                                                    *Mahasiswi Fakultas Tarbiyah

                                                                                    Direktur Lembaga Kajian dan Penerbitan

 
MALIKHAH SAN © 2012 | Edited Designed by Kurungan Celotehan