JINGGA



Surat itu bertuliskan “....”
          Sudahlah, aku tengah melupakan 3 tahun bersamamu, ::Sahabat::
Sepucuk surat yang kau kirimkan lewat mega-mega nan indah kala itu, tak membuat rasa ku luruh denganmu. Kau antar surat itu kala senja tengah berpamitan dengan sang fajar yang tengah ranum ...
          Ku buka tiap helai tulisan yang kau tulis kala tujuh purnama tak sempurna tiba. Kau ceritakan semua tentang kita, tentang sebuah arti persahabatan yang kala itu masih terasa begitu sempurna .. sempurna karna kita yang masih tak mengerti arti “kuasa” diantara kita .. kau selipkan dua tanduk rusa diatas pundakku, dan kau nyanyikan alunan senja dipersemaian menuju panjangnya malam ...
***
Di meja itu, kuletakkan sehelai kain jingga yang sedikit kusam. Ku bentuk layaknya sarang merpati diatas awan biru .... meja itu merupakan peninggalan eyang kakung :sebutan kakek:, sebelum akhirnya beliau menghembuskan nafas terakhir .. usianya yang sudah cukup renta, membuatnya harus terbaring tak berdaya dalam keindahan senja kala itu ..
Ibu yang selalu menghitung lembar demi lembar kertas yang bertuliskan “....”
Waktu masih menunjukkan pukul O2.OO .. suara gemrincing sepeda yang biasanya ku dengar kala subuh telah tiba .. dan ku bertanya dalam hati, mengapa begitu pagi suara itu ku dengar?”
“Merpati jingga tengah menantimu dalam dinginnya pagi”
Begitulah penggalan sapaan dalam surat tersebut. Akupun masih menyimpan sejuta tanya siapa orang yang tengah asik menorehkan tinta berlian itu untukku. Hari kian menampakkan wajah eloknya, terasa berbeda pagi ini.. semangat itu muncul kala ku trima surat yang datang terlalu pagi ..
          Ini memasuki hari ke empat puluh, dan empat puluh surat telah ku terima dan ku bingkai dalam sangkar sutra. Ku bingkai surat ke empat puluh ini, dengan balutan mawar merah .. hingga merangah kala melihatnya..
***
Tiga tahun lalu ku mengenalmu dalam secangkir kopi jingga. Pagi itu ku racik kopi jingga spesial untukmu. Bak keluarga cemara, kamipun saling bercengkrama di depan layar kaca. Sarapan pagi itu, kami menikmati sajian berita ibu kota ..
Isu-isu korupsi yang kala itu tengah menjadi bahasan “hot” membuat kami semakin dalam mendiskusikannya. Sebagai insan pendidikan kami menyadari, saat ini tengah terjadi degradasi moral, imbasnya krisis kepercayaan semakin menggerogoti tubuh pemerintah.
Sela waktu perbincangan hangat kita, tiba-tiba dia sebut saja Andra berbagi cerita, yang aku sendiri tak tau apa maksudnya. “Din, sekalipun aku punya mawar, tak kan ku berikan mawar ini ke sembarang cewek, aku ingin menjaga mawar ini hingga ujung waktu”, katanya.
“Buat apa kau ambil mawar sekarang? Sedang kau biarkan terdiam begitu lama?”, jawabku dengan tegukan kopi jingga ...
“Menjadi sebuah keharusan aku harus mengenal mawar itu, akupun ingin mengetahui setiap jejak langkahnya.. hingga ku tau semua tentang mawar itu”, tutur Andra meyakinkan.
Sementara aku mengkalkulasikan kebutuhan satu bula ini, aku hanya bisa berkata, “carilah mawar sesukamu”.

***
Pagi itu memang ku tak ingin luruh dalam balutan mesra kala fajar tlah tiba. Akupun mengakhiri pertemuan pagi itu. Kulanjutkan aktifitasku, begitupun dengannya.
Senja mulai tiba, dan akupun kembali bertemu dengannya. Kita memang dipertemukan setiap senja, dibalut dengan kopi jingga, hingga fajar tiba. Ini hari ke dua kita bersama. Tak seperti hari sebelumnya, malam ini kantuk seberat sejuta ton menghinggap diwajah kita. Aku mencoba bertahan kala matanya semakin tak mampu menahan rasa lelah. Aku mencoba bertahan dengan melontarkan beberapa bait pertanyaan. Aku mencoba bertahan dengan membuatkan kopi jingga kesukaannya. Aku mencoba meramaikan suasana kala itu dengan berbagai obrolan. Tapi tak juga bertahan lama, akhirnya kau pun terlelap.
“Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda”. Pepatah itu membuatkan tergelitik kala meresapi setiap butir kata.
::Aku mengenalnya tak cukup lama, namun begitu besar pelajaran yang aku terima:: Penggalan lagu itulah yang mampu mewakili seluruh isi hati ini.
Hari demi hari berlalu begitu saja, dan ini tiga tahun sudah ku tak melihatnya. Balutan hangat keluarga cemara yang kurasa, tak lagi menghiasi hariku. Kopi jingga yang biasa aku seduh bersama senyum manismu, kini tak lagi ku rasa.

Memasuki hari ke empat puluh ini, terkumpul sudah empat puluh butiran mawar disela kain sutra yang kau beri. Tak seindah seperti biasanya, surat kali ini begitu berbeda. Kau tak banyak bercerita seperti sebelum-sebelumnya. Kau hanya tulis “titip salam buat bapak ibu, dan tunggu satu mawar ke empat puluh satu” .
          Ku tunggu surat ke empat puluh satu, hingga hari ku telah habis karna mu. Tak kunjung jua mawar yang kau janjikan, akupun tak tau siapa yang tengah menggoda isi hatiku. Namun, semuanya terasa beku, lantas akupun mengharu biru menerima mawar ke empat puluh satu.
Bertuliskan nama dan indah senyum mu, dalam sebuah balutan mesra bersama mawar pilihanmu.
::Tak Apa::
         

 oleh, Dhek Cha

1 komentar:

 
MALIKHAH SAN © 2012 | Edited Designed by Kurungan Celotehan