Hari itu ... Hanya Milikku


Pagi ini begitu berbeda. Semacam disambut seluruh makhluk di bumi. Haiah, dua puluh delapan yang ku tunggu bulan ini.
Air mulai mendidih, aku pun tak sanggup untuk sekedar meninggalkan barisan kopi yang berjejer rapi dihadapanku. Sruput .... nikmatnya secangkir kopi yang sengaja ku buat tanpa ku tambahkan sedikit gula. Anggun, biasa ibu panggil namaku. Gadis desa yang hidup di negeri sebrang, untuk sebuah pencarian. Yak, pencarian masa depan.
Dua puluh delapan. Kebetulan pagi ini aku berada di villa kedamaian tempatku dibesarkan. Dua puluh satu tahun silam ku dilahirkan, dibesarkan penuh kasih sayang tiada tara.
“Met ultah ya de’ Cha”, suara dengan tempo sedikit cepat dan lirih ku dengar semalam. Jemi, kawan yang baru beberapa tahun ini akrab dengan ku. Tak ku sangka, dia orang pertama yang memberiku ucapan selamat.
Tahun-tahun sebelumnya, Eko lah yang selalu jadi nomor satu untuk sekedar memberi ucapan selamat. Yah, dia pacarku. Tapi itu dulu, dua tahun silam. Semenjak kita tak bersama, aku pun mulai enggan dengar namanya. “Brengsek”. Hah, siapapun dia, aku juga pernah sayang, tapi itu dulu.
Beberapa waktu lalu dia ngasih kabar pernikahannya dengan teman karib ku. Yak bagus sekali. Ternyata selama ini hanya sandiwara. “Besok Februari wajib bantu di acara pernikahanku ya cha” katanya dengan nada setinggi lima oktaf.
“Kalo nggak kuliah ms, soalnya bulan-bulan itu aku baru masuk kuliah”, jawabku.
Nggak masalah si ms Eko mo nikah sama siapa aja, tapi kenapa mesti sama tu orang?? Hew.. aku tahu benar dulu ms Eko ngejar-ngejar calon adik iparnya itu, eitz, malah-malah dia gebet juga tu kakaknya, dan mereka seiya sekata buat jalin satu hubungan serius. Cha Cuma bisa ngasih doa n selamat deh.
###
Kosong-kosong. Jemi seketika ngasih doa yang begitu indah. Sulit ditebak tuh orang, banyak yang naksir, tapi dia tolak mentah-mentah. Kasian deh .. aku ngrasa Jemi akhir-akhir ini mulai perhatian, entah hanya perasaanku aja, ataukan emang bener demikian? Entahlah.. bagiku, persahabatan kita lebih berharga dibandingkan harus memikir kan hal semacam cinta untuk kita berdua.
            Pagi pun kian menebar terangnya. Sapanya kali ini begitu mempesona. Seraya menikmati kopi, menebar cerita bersama orang tua. Emmmmm.... “Makan-makan mbk”, sapa adik kecilku yang baru bangun. Dia memang adik yang teramat perhatian, dia selalu ada setiap kali aku butuhkan. Dia tak pernah lupa dengan adat ku ketika dua puluh delapan tiba...
            Masih menunggu!!!
            Waktu berjalan dengan sedikit lambat, detik demi detik seakan tak mau meninggalkan dua puluh delapan yang teramat spesial ini. Urat nadiku mulai bergetar, seiring waktu yang terus berjalan. Beberapa saat, kala ku lihat inbox di handponeku, tak juga muncul satu rangkaian nada indah.
Belum !!!
            Seketika jiwaku brontak, perlawanan yang tak dapat ku hindari dalam diri ini. Menunggu menjadi satu kata indah untuk hari ini.
Masih Belum !!!
            Beberapa kali namanya muncul dalam inbox ku, dan berulang kali basa basi nya menggelitik raga ini. “Mungkin dia lupa, ataukah dia sama sekali tak tahu?”, kembali brontak dengan jiwa.
“Ach tidak nggun, dia hanya lupa. Banyak urusan yang harus ia selesaikan. Mengertilah!!!”, malaikat di kanan ku mulai meyakinkan ku ...
            “Dia itu nggak tahu dan tak mau tahu tentang mu, ngapain juga kamu nunggu dia.”, sedikit mengusikku malaikat dibelakang ku ...
            Mulai bimbang deh, “Acch, biarkan saja, masih ada dua belas jam untuk menunggunya”, aku yakinkan pada diriku sendiri.
            Jemi mulai lagi deh, nagih-nagih hutang yang gag jelas gitu. “Mana?? Kapan kamu bayar hutang mu bulan kemarin?? Katanya mau barter?”, tagih nya bak rentenir abal-abal.
“Iya, besok ya. Insyaallah kalo dapet rejeki, aku langsung lunasi”, kataku layaknya orang memelas.
            Cha memang punya hutang sama Jemi, berulang kali ditagih. Jurus naga bonar buat ngalihin pembicaraannya.

***
            Hari semakin larut, dan aku pun tak jua menemukan sesosok mu hari ini. Langit yang semakin gelap pun masih enggan berlalu, masih menunggu mu ..
Akupun semakin enggan untuk mengatakan “aku menunggu”. Waktu tak lagi menjadi milikku hari ini. Mentari mulai merenggut rembulan yang enggan bergeser, sekedar memberi ruang sang mentari.
Dua atau tiga hari, entah lah. Aku mulai lupa dengan nama indah mu sesore itu.

oleh, Dhek Cha

1 komentar:

 
MALIKHAH SAN © 2012 | Edited Designed by Kurungan Celotehan