Indonesia memiliki semboyan yang patut dijunjung
tinggi oleh seluruh masyarakat Indonesia, yakni “Bhineka Tunggal Ika”. Semboyan
ini mengandung nilai-nilai filosofis sebagai wujud pengakuan kebhinekaan
manusia, baik vertikal maupun horizontal yang mengemban misi tunggal sebagai
umat Tuhan di muka bumi. Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan,
kecerdasan, fisik, finansial, pangkat, kemampuan, pengendalian diri dsb.
Kebhinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa,
budaya, agama, tempat tinggal, daerah afiliasi politik, dsb.
Dalam hal ini, kebhinekaan horizontal lah yang
seringkali menjadi permasalahan di negeri bumi pertiwi ini. Banyak kasus
tentang perselisihan antar suku, budaya daerah yang tidak diakui sehingga
mendapatkan pengakuan dari negara lain. Perselisihan dengan frame agama
juga semakin menambah bumbu sedap dalam permasalahan penyikapan kebhinekaan.
Makna luas yang terdapat dalam nilai-nilai kebhinekaan tentunya menjadikan
setiap individu memiliki persepsi yang berbeda. Pemahaman yang radikal, justru
akan memicu adanya konflik dalam masyarakat. Hal ini berimbas pada sikap yang
yang tentunya tidak jauh dari persepsi masing-masing orang atau kelompok.
Pemahaman radikal yang konservatif juga mampu meningkatkan intoleransi di
masyarakat serta kontradiksi antara konstitusi dan regulasi yang mengancam
kebebasan dalam beragama.
Masyarakat Indonesia tentu mendambakan kondisi dan
situasi yang damai tanpa adanya perselisihan. Perselisihan yang diakibatkan
oleh adanya perbedaan menjadi hal yang harus kita hindari. Kesadaran akan
indahnya perbedaan perlu di internalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tentu
untuk mewujudkan semua itu, diperlukan adanya pendidikan yang mampu menyikapi
perbedaan dengan baik. Sikap eksklusif saat ini menjadi hal yang harus
dihindari, sehingga masyarakat mampu menghadapi tantangan jaman dan juga tidak
radikal dalam memandang perbedaan. Pendidikan inklusif tentu dapat memberikan
efek positif yang mampu membawa seseorang untuk berpikir lebih terbuka.
Sehingga setiap orang dapat menerima perbedaan, baik suku, ras, agama, bahasa,
tempat tinggal dan sebagainya.
Frame pendidikan inklusif pun terkadang juga
mengandung banyak persepsi. Sikap terbuka dalam menyikapi perbedaan yang ada
antar kelompok tentu berbeda. Setiap kelompok memiliki proporsi berbeda dalam
bersikap inklusif. Oleh sebab itu, dirasa perlu membuka wacana akan pendidikan
inklusif yang dilihat dari sudut pandang beberapa aliran keagamaan di Semarang.
Dalam hal ini, Jawa Tengah menjadi sebuah daerah dengan keragaman yang sangat
banyak. Salah satunya adanya aliran-aliran kepercayaan yang beragam, tentu
memiliki standarisasi dalam menyikapi adanya pendidikan inklusif. Oleh sebab
itu, tema ‘Pendidikan Inklusif dari Perspektif Aliran Kepercayaan di Semarang’
penting untuk didiskusikan. Mau tau lebih lanjut? Segera tunggu tanggal
mainnya, 29 Maret 2013.
By: Malikhah San
0 komentar:
Post a Comment