HAM dan Keberagamannya


Hak Asasi Manusia atau HAM merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap individu tanpa memandang suku, ras, dan agama. Oleh sebab itu, negara memiliki kewajiban untuk bisa menghargai hak asasi manusia sebagai warga negara Indonesia. Ada banyak hak yang dimiliki oleh setiap warga negara, misalnya Hak Hidup, Hak Agama, Pendidikan, Hak Pekerjaan, Keamanan, dll. Beberapa hak tersebut merupakan hak individu yang saling terkait dan saling memiliki ketergantungan satu sama lain.
Hari ini penghargaan tentang HAM sudah semakin mahal. Banyak kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Sayangnya, pemerintah tak punya langkah cepat dan tepat untuk menuntaskan permasalahan tersebut. Semisal, tragedi Semanggi I (13-15 November 1998), dan peristiwa Trisakti (12 Mei 1998), pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib atau Cak Munir pada 7 September 2004, kasus penggusuran pasar raya padang (2011), kasus Tiaka Morowali juga jemaat gereja baptis papua (2011), Kongres Rakyat Papua III (2011) serta kejadian syiah sampang (2012), dan Serikat Pekerja Indonesia (2012), (Okezone, 7 Oktober 2012).  Penyelesaian kasus pelanggaran HAM terebut seringkali tidak diselesaikan secara tuntas. Sehingga penegakan hukum tentang HAM pun masih jauh dari kata “keadilan”.
Konflik yang terjadi di Indonesia, seringkali diselesaikan bukan atas nama warga negara. Banyak kasus seperti kasus kerusuhan antar umat beragama, perselisihan antar suku sering kali diselesaikan berdasarkan suku atau agama masing-masing. Imbasnya, kaum minoritas dan mayoritaslah yang berperan dalam penyelesaian kasus tersebut. Sudah dapat dipastikan, bahwa kaum mayoritaslah yang akan selalu benar ketika terjadi perselisihan. Padahal konflik yang terjadi di Indonesia, bukanlah konflik atas nama golongan minor dan mayor, melainkan konflik atas nama warga negara Indonesia. Disinilah peranan penegak hukum untuk membela hak asasi manusia yang notabene seringkali “tertindas”. Semisal kita lihat kasus Sampang, warga Syi’ah yang notabene mayoritas, mereka tersingkir dari daerahnya. Padahal mereka sama-sama warga negara Indonesia yang memiliki hak hidup, hak keamanan, hak beragama, dsb, namun karena pelabelan atas nama kaum “Minoritas”, maka tidak banyak banyak yang dapat mereka lakukan untuk sekedar menuntut hak-haknya.
Melihat realitas yang sedemikian memprihatinkan, kita selaku insan pendidikan perlu membuka wacana tentang persoalan tersebut. Sehingga, nantinya dalam sebagai pendidik, khususnya pendidik agama Islam mampu menanamkan nilai-nilai keberagaman dan sikap inklusif dalam kehidupan sehari –hari. Selain itu, diharapkan pendidikan agama mampu memberikan sumbangsih untuk mengatasi permasalahan HAM yang terjadi di Indonesia.


                                           oleh, Malikhah

 

0 komentar:

Post a Comment

 
MALIKHAH SAN © 2012 | Edited Designed by Kurungan Celotehan