Menurut Cha, orang Jawa ini sangat menjunjung adat istiadat yang
diwariskan oleh leluhurnya. Masyarakat Jawa juga terkenal dengan istilah “tepo
seliro”. Dengan kebiasaan yang demikian, membuat orang Jawa terkenal dengan
keramahannya. Seringkali ketika kita melihat orang-orang kota, terutama
orang-orang perumahan, mereka cenderung apatis dengan kondisi sekitarnya. Kita sering
melihat, ketiadaan interaksi yang intens dikalangan penghuni perumahan,
terutama perumahan elit. Kita lihat saja, di Jakarta saat ini marak orang
terutama pejalan kaki yang menggunakan masker sebagai alat penutup mulut dan
hidung. Memang, kita tidak bisa menjustis bahwa tindakan tersebut salah, namun
secara logika tindakan tersebut akan mengurangi intensitas seseorang dalam
berinteraksi dengan orang lain. Orang akan merasa ewuh ketika akan
mengajak komunikasi dengan orang tersebut. Ditambah dengan kebiasaan orang
Jakarte yang sering menggunakan penutup telinga atau headset ketika berjalan. Logikanya,
dia tidak akan mendengar suara ketika ada orang lain mengajak ataupun bertanya
kepada orang tersebut.
Perkembangan tekhnologi yang semakin canggih pun terkadang menjadi
bumerang terhadap diri kita. Kita menjadi lebih asyik dengan tekhnologi yang
kita miliki. Tenggelam dalam dunia artifisial, mungkin itulah kalimat yang
dapat mewakili kondisi masyarakat saat ini. Orang-orang lebih asyik dengan
dunianya, dunia yang dibuatnya sendiri. Inilah yang membuat seseorang “menjauhkan
yang dekat, dan mendekatkan yang jauh”.
Namun, jika kita tarik pada kondisi orang Jawa seperti kasus
diatas, Jakarta pun termasuk Jawa. Penghuni Jakarta pun mayoritas orang Jawa,
jadi tidak heran ketika saat ini muncul istilah “wong Jowo ilng Jowone” atau “orang
Jawa kehilangan Jawa-nya”.
Kembali lagi dengan budaya orang Jawa yang juga sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai dan tradisi dari leluhurnya. Kebanyakan orang Jawa sangat
mempercayai perkataan dan warisan leluhurnya, yang terkadang hanya diterima
tanpa ada alasan yang valid. Semisal, malam-malam nggak boleh potong kuku,
nggak boleh menjahit, nggak boleh nyapu malam-malam, nggak boleh makan didepan
pintu, dan masih banyak lagi.
Kita logika aja ya, semisal ada larangan untuk tidak memotong kuku
di malam hari. Itu masalahnya, dikhawatirkan jika memotong kuku pada malam
hari, sapa tau tangan kita bisa terluka terkena gunting kuku. Begitu pula
dengan alasan kenapa kita tidak diperbolehkan menjahit dimalam hari. Perempuan juga
dilarang makan di depan pintu, sebab jika makan didepan pintu akan menghalangi
orang yang akan lewat di depan pintu.
Namun terkadang ketika ditanyakan kepada orang yang lebih tua,
semisal orang tua yang melarang tindakan tersebut, jawabannya “wes poko’e ngono”.
Jawaban seperti itulah yang terkadang masih menjadi pertanyaak akan
larangan-larangan yang diberikan. Memang, tindakan-tindakan tersebut tentunya
sangat melihat adat/ urf yang telah menjadi kesepakatan masyarakat. Larangan yang
sering dilontarkan kepada kita, harusnya disertai dengan alasan-alasan yang
dapat diterima. Agar nantinya istilah “poko’e” tidak lagi muncul, karena dengan
alasan yang rasional akan mudah diterima oleh orang lain.
Selayaknya, sikap dan pemikiran yang cenderung ortodoks harus kita
hilangkan. Meskipun banyak hal yang tidak bisa kita jelaskan dengan rasional,
namun setidaknya ada sisi hal yang harus kita jelaskan ketika memberi larangan
kepada orang lain.
0 komentar:
Post a Comment