SKRIPSI MALIKHAH

MODEL PENDIDIKAN AGAMA UNTUK ANAK BERMASALAH DI PONDOK PESANTREN KI SANTRI
DESA SUKOREJO KENDAL



SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
dalam Ilmu Pendidikan Agama Islam





Oleh,
MALIKHAH
NIM: 103111123





FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
 



PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama              : Malikhah
NIM                 : 103111123
Jurusan                        : Pendidikan Agama Islam
Program Studi  : Pendidikan Agama Islam
menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
MODEL PENDIDIKAN AGAMA DI PONDOK PESANTREN KI SANTRI DESA SUKOREJO KENDAL
secara keseluruhan adalah hasil penelitian/ karya saya sendiri, kecuali bagian tertentu yang dirujuk sumbernya.

Semarang, 18 Juli 2014
Pembuat Pernyataan,






Malikhah
NIM. 103111123







KEMENTRIAN AGAMA R.I.
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
Jl. Prof. Dr. Hamka (Kampus II) Ngaliyan Semarang
Telp. 7601295 Fax. 7615387 Semarang 50185
 

PENGESAHAN

Naskah skripsi berikut ini:
Judul                : MODEL PENDIDIKAN AGAMA DI PONDOK PESANTREN KI SANTRI DESA SUKOREJO-KENDAL
Nama              : Malikhah
NIM                 : 103111123
Jurusan           : Pendidikan Agama Islam
telah diujikan dalam sidang munaqosyah oleh dewan penguji Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Walisongo dan dapat diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dalam ilmu Pendidikan Agama Islam.

                                                                               Semarang, .......................... 2014
DEWAN PENGUJI
                          Ketua,                                                            Sekretaris,



      Dr. Widodo Supriyono, MA                                Dr. Ikhrom, M. Ag
     NIP. 19591025 198703 1 003                      NIP. 19650329 199403 1002
                       Penguji I,                                                         Penguji II,



      Dr. Mahfudz Junaedi, M.Ag                        Hj. Dr. Nur Uhbiyati, M.Pd
     NIP. 19690320 199803 1 004                     NIP. 19520208 197612 2 001
                   Pembimbing I,                                                Pembimbing II,



              Dr. Ikhrom, M. Ag                                          H. Mursid, M. Ag
   NIP. 19650329 199403 1002                         NIP. 19670305 200112 1001
 



NOTA DINAS
Semarang, 18 Juli 2014


Kepada
Yth. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
IAIN Walisongo
di Semarang



Assalamualaikum Wr.Wb
Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan, dan koreksi naskah skripsi dengan:
Judul             MODEL PENDIDIKAN AGAMA DI PONDOK     PESANTREN KI SANTRI DESA SUKOREJO KENDAL
Nama            : Malikhah
NIM              : 103111123
Jurusan         : Pendidikan Agama Islam
Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Walisongo untuk diujikan dalam Sidang Munaqsyah.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb


Pembimbing I,




Dr. Ikhrom, M. Ag
NIP. 19650329 199403 1002





NOTA DINAS
Semarang, 18 Juli 2014


Kepada
Yth. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
IAIN Walisongo
di Semarang



Assalamualaikum Wr.Wb
Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan, dan koreksi naskah skripsi dengan:
Judul             MODEL PENDIDIKAN AGAMA DI PONDOK     PESANTREN KI SANTRI DESA SUKOREJO KENDAL
Nama            : Malikhah
NIM              : 103111123
Jurusan         : Pendidikan Agama Islam
Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Walisongo untuk diujikan dalam Sidang Munaqsyah.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb


Pembimbing II,




H. Mursid, M. Ag
NIP. 19670305 200112 1001





ABSTRAK

Judul      : Model Pendidikan Agama Di Pondok Pesantren Ki Santri Desa Sukorejo-Kendal
Penulis   : Malikhah
NIM       : 103111123

Skripsi ini membahas mengenai model pendidikan agama di pondok pesantren Ki Santri. Peneliti memandang bahwa problematika yang terjadi di masyarakat misalnya kenakalan remaja, tindak kriminal merupakan dampak dari minimnya pendidikan agama. Pemahaman akan pendidikan agama menyebabkan seseorang mudah melakukan tindakan menyimpang. Hal ini disebabkan lemahnya keimanan seseorang.
Sayangnya, pendidikan agama yang diperuntukkan bagi masyarakat yang memiliki masa lalu yang buruk (sering melakukan tindak kriminal) masih minim. Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab segala problematika masyarakat tersebut. Pondok pesantren Ki Santri merupakan objek penelitian yang memiliki fokus pada pendidikan agama untuk mantan pecandu narkoba, pemabuk, perampok, dll. Skripsi ini hendak menjawab tentang bagaimana model pendidikan agama yang diterapkan di pondok pesantren Ki Santri? Permasalahan tersebut dibahas melalui metode penelitian kualitatif.
Kajian ini menunjukkan bahwa model pendidikan agama yang terdapat di pondok pesantren Ki Santri mengadopsi model pendidikan agama yang terdapat di pesantren khalaf. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kolaborasi pendidikan yang terdapat dalam pesantren. pendidikan agama, pendidikan umum, dan pendidikan ketrampilan dilaksanakan di pesantren Ki Santri.
Pendidikan agama yang dilaksanakan di Ki Santri diantaranya pengajaran al Qur’an dan Kitab. Sedangkan pendidikan umum diberikan melalui sekolah kejar paket. Hal ini disebabkan karena sebagian besar santri dahulunya telah mengenyam pendidikan formal, namun tidak sampai akhir. Pendidikan ketrampilan yang diberikan diantaranya dengan membuka bengkel dan beternak. Kolaborasi ketiga elemen tersebut merupakan serangkaian proses pendidikan agama di pesantren Ki Santri. Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan masukan bagi para pemangku kebijakan di bidang pendidikan, agar tetap memperhatikan kebutuhan pendidikan agama bagi mantan pelaku tindak kriminal.


KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim
Syukur Alhamdulillah, atas limpahan rahmat, taufiq, hidayah, serta inayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “Model Pendidikan Agama di Pondok Pesantren Ki Santri Desa Sukorejo-Kendal”. Hanya dengan pertolongan-Nya lah penulis dapat melewati segala kesulitan, hambatan dan rintangan dalam proses menyelesaikan penelitian.
Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, sang inspirator sejati menuju kebahagian dunia akhirat.
Dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari doa, bimbingan, dukungan dan saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan setulus hati penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga penyusunan skripsi ini selesai. Penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada:
1.      Bapak Dr. Suja’i, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Walisongo.
2.      Bapak Dr. Ikhrom, M. Ag. dan Bapak H. Mursid, M. Ag.,  selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya ditengah-tengah kesibukannya, beliau selalu memberikan serta semangat bimbingan sampai penulisan skripsi ini selesai.
3.      Segenap dosen pengajar di lingkungan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, terkhusus segenap dosen Pendidikan Agama Islam yang tidak henti memberikan saran dan  ilmu pengetahuannya kepada penulis.
4.      Keluarga besar Pondok Pesantren Ki Santri desa Sukorejo-Kendal  yang telah memberikan izin penelitian dan telah membantu dalam berlangsungnya penelitian.
5.      Kedua orang tua tercinta, Ibu Umayah dan Bapak Kasromi yang telah memberikan dukungan, baik moral maupun materiil. Keikhlasan dan ketulusan doa yang selalu menyertai langkah perjalanan hidup penulis yang tidak akan bisa terbalaskan. Serta keluarga besar, khususnya teruntuk Eri Azizi dan Dwi Royanto yang telah memberikan masukan dan dukungan selama proses pengerjaan dan selalu menjadi penguat dan penyemangat bagi penulis.
6.      Sahabat sekaligus motivator Novita Nur Inayah, Umi Hanik, Wahyu El Habib, Izza Sufa, Richa Fitriana, Ayu Ulul Azmi, Lilis Yuliani, Zeaul Rizka, Ahmad Fachry Yahya, Juli Muthohar, Azkal Falah, Taat Rifani, Mas Akhi Sofiudin, Hendra Saputra, Inayah, Saifudin Wafa, M. Yunus Mustofa dan Izzadatul Khasanah yang menemani perjalanan hidup penulis dalam menyelesaikan studi.
7.      Sahabat-sahabat terkasih Pendidikan Agama Islam angkatan 2010, yang memberi warna selama perjalanan di bangku kuliah.
8.      Keluarga besar LPM EDUKASI, SRIKANDI dan PMII Rayon Tarbiyah yang telah memberikan pengalaman luar biasa dalam berjuang dan memahami roda organisasi.
9.      Teman-teman KKN Posko 19 Desa Genuk Kecamatan Ungaran Barat dan teman-teman PPL MIT Nurul Islam Semarang yang memberi semangat dan motivasi.
10.  Kawan-kawan markas BPI  K 25 (Ibu Nuk, Wildan, Dilla, Tyas, Fima, Mbak Nik, Opi, Gita, Septi, Novita) yang senantiasa memberi semangat yang tak henti-hentinya.
11.  Semua pihak yang pernah melintas dan menghiasi hidup penulis dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.



Semarang, 18 Juli 2014          
Penulis,



Malikhah
NIM. 103111123





DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...........................................................          i
PERNYATAAN KEASLIAN..............................................         ii
PENGESAHAN...................................................................        iii
NOTA PEMBIMBING........................................................        iv
ABSTRAK...........................................................................        vi
KATA PENGANTAR..........................................................      viii
DAFTAR ISI........................................................................        xi
DAFTAR LAMPIRAN........................................................      xiii
BAB I      : PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang..............................................         1
B.     Rumusan Masalah.........................................         6
C.     Tujuan dan Manfaat Penelitian......................         6
BAB II    : LANDASAN TEORI
A.     Deskripsi Teori..............................................         8
1.      Pengertian Model Pendidikan Agama .....         8
2.      Model Pendidikan Agama Di Pesantren .       13
3.      Unsur-Unsur Pesantren ..........................       23
4.      Pola Kehidupan Pesantren.......................       28
5.      Sistem Pendidikan Pesantren...................       31
B.     Kajian Pustaka..............................................       34
C.     Kerangka Teori ............................................       36
BAB III   : METODE PENELITIAN
A.     Jenis Penelitian..............................................       39
B.     Tempat dan Waktu Penelitian........................       40
C.     Sumber Data.................................................       40
D.     Fokus Penelitian ...........................................       41
E.      Teknik Pengumpulan data.............................       41
F.      Uji Keabsahan Data......................................      42
G.     Teknik Analisis Data.....................................       43
BAB IV   : DESKRIPSI DAN ANALISA DATA
A.     Deskripsi Data...............................................       46
B.     Analisis Data.................................................       72
C.     Keterbatasan Penelitian.................................       77
BAB V    : PENUTUP
A.     Simpulan.......................................................       78
B.     Saran.............................................................       79
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN



DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1   Pedoman Observasi
Lampiran 2   Pedoman Wawancara
Lampiran 3   Hasil Wawancara







BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Pondok pesantren telah tumbuh dan berkembang di Indonesia. Dari sekian banyaknya pesantren yang ada di Indonesia, pondok pesantren Ki Santri di wilayah Sukorejo Kabupaten Kendal merupakan salah satu pesantren yang digunakan untuk menimba ilmu agama. Layaknya pesantren pada umumnya, pesantren ini juga mengajarkan berbagai materi keagamaan.
Namun, ada hal yang unik dalam pesantren ini. Beberapa keunikan dalam pesantren ini diantaranya:
Pertama, pondok pesantren Ki Santri menjadi lembaga pendidikan yang diperuntukkan bagi orang-orang yang memiliki latar belakang negatif. Negatif disini adalah mereka yang dahulunya adalah seorang preman, pecandu narkoba, pemabuk, perampok, anak punk dan sebagainya. Betapa dahsyatnya pesantren Ki Santri hingga mampu menyulap anak-anak nakal tersebut menjadi santri-santri soleh.
Di negeri ini masih jarang ditemui tempat yang mau menampung anak-anak yang notabene “sampah masyarakat”. Fenomena yang sering terlihat di negeri ini lembaga pemasyarakatanlah yang menjadi tempat rehabilitasi bagi mereka. Sebuah langkah yang berani mendidik para santri-santri nakal ini hingga menjadi santri berakhlak mulia.
Kedua, pesantren ini santri sama sekali tidak dipungut biaya dalam kesehariannya. Santri diberikan tanggung jawab penuh dan secara mandiri merawat pesantren dengan baik.
Ketiga, di pesantren ini selain diberikan pendidikan agama, santri juga diberikan berbagai ketrampilan. Salah satunya ketrampilan dalam mendesain dan membangun pesantren. Hal ini terlihat dari beberapa bangunan pesantren yang merupakan buah karya santri sendiri.
Keempat, proses pembelajarannya dilakukan dengan mengkolaborasikan antara pendidikan agama dan psikologi. Hal ini bertujuan untuk menyelaraskan kondisi psikologi santri dalam pemberian materi keagamaan. Perilaku santri dalam kesehariannya tidak mencerminkan pribadi mereka yang dahulunya negatif.
Pendidikan agama menjadi sangat urgen bagi generasi penerus bangsa. Betapa tidak, belakangan ini santer diberitakan peristiwa kriminal yang dilakukan baik oleh remaja maupun orang tua. Tengok saja kasus pembunuhan Ade Sara yang terjadi pada 05 Maret 2014. Lebih parahnya lagi, pembunuh adalah sepasang kekasih yang masih berstatus sebagai mahasiswa.
Kasus lain yang tak kalah menghebohkan adalah kasus penggunaan narkoba. Merdeka.com (05/09/2013) memberitakan bahwa hasil penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN) tercatat 50 jiwa dari 4,7 juta penduduk Indonesia meninggal dunia akibat kecanduan narkoba. Hal ini mengindikasikan bahwa telah tergerusnya nilai-nilai luhur keagamaan bangsa ini, jika dibiarkan, kehancuran suatu bangsa segera terjadi.
Perilaku dzalim dalam kehidupan beragama Islam pada dasarnya disebabkan oleh ketidaksehatan mental seseorang. Dimana aspek intelektual dan emosionalnya tidak berjalan lancar secara normal karena kondisi tertentu yang mengitarinya. Orang yang memiliki mental sehat adalah orang yang memperlihatkan kematangan emosional, kemampuan menerima realitas, kesenangan hidup bersama orang lain, dan memiliki filsafat atau pandangan hidup pada saat ia mengalami komplikasi kehidupan sehari-hari sebagai kehidupan.[1] Keseimbangan antara hati dan otak menjadi sangat penting, sehingga kesehatan mental dapat terjaga dengan baik.
Model pendidikan agama yang dilakukan di pondok pesantren Ki Santri memiliki strategi dalam mendidik sehingga mampu memecahkan masalah santri. Proses pembelajaran yang dilakukan di pesantren ini juga memiliki strategi pembelajaran tersendiri. Latar belakang peserta didik yang negatif, tidak serta merta menerapkan pola layaknya di pendidikan pada umumnya. Meskipun memiliki latar belakang negatif, sebagai manusia yang memiliki akal untuk berpikir, santri-santri ini layak untuk mendapatkan pendidikan.
Manusia jelas memiliki derajad yang lebih tinggi dibandingkan hewan ataupun makhluk lainnya. Perbedaannya terletak pada akal. Manusia diberikan akal oleh Tuhan, tetapi hewan tidak diberikan akal. Dalam kaitan ini, Ali Anwar Yusuf, dalam bukunya Studi Agama Islam mengatakan:
Jelas bahwa manusia membutuhkan bimbingan dan petunjuk yang benar dan bernilai untuk meraih kebahagiaan hidup jasmani dan rohani, dunia, dan akherat. Untuk itu, disamping akal, Tuhan juga memberikan anugerah lain kepada manusia sebagai pembimbing gerak akal, yaitu agama. Dalam agama inilah dibentangkan konsep yang tegas dan jelas tentang apa yang sesungguhnya hidup dan kehidupan itu, dari mana dan kemana arah tujuannya, serta apa dan siapakah manusia itu sebenarnya.[2]
Seperti digambarkan dalam Al-Qur’an:
tíuŽŸ° Nä3s9 z`ÏiB ÈûïÏe$!$# $tB 4Óœ»ur ¾ÏmÎ/ %[nqçR üÏ%©!$#ur !$uZøŠym÷rr& y7øs9Î) $tBur $uZøŠ¢¹ur ÿ¾ÏmÎ/ tLìÏdºtö/Î) 4ÓyqãBur #Ó|¤ŠÏãur ( ÷br& (#qãKŠÏ%r& tûïÏe$!$# Ÿwur (#qè%§xÿtGs? ÏmŠÏù 4 uŽã9x. n?tã tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# $tB öNèdqããôs? ÏmøŠs9Î) 4 ª!$# ûÓÉ<tFøgs Ïmøs9Î) `tB âä!$t±o üÏökuur Ïmøs9Î) `tB Ü=Ï^ムÇÊÌÈ
“Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang Telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (Q.S. Asy-Syura [42]: 13).”[3]
Berawal dari kebutuhan-kebutuhan tersebut, ilmu pengetahun menjadi salah satu penuntun manusia dalam kehidupannya. Kedudukan ilmu pengetahuan dalam Islam sangat sentral dan vitalitas. Keutamaan ilmu terungkap dalam penghormatan dan kehormatan yang diberikan kepada ilmuan serta tersirat dalam wahyu pertama yang diterima Rasulullah SAW berupa kunci ilmu, yakni membaca.
Al-Qur’an sebagai kitab panduan umat manusia memuat ratusan ayat yang mengungkapkan tentang ilmu mengajak manusia untuk berfikir, dan melakukan penalaran (megamati, memperhatikan, memikirkan, dan menyelidiki dengan seksama), serta memberikan penghormatan orang-orang yang suka menggunakan akal pikirannya. Ini merupakan bukti otentik yang tak dapat diragukan lagi akan pentingnya kedudukan ilmu pengetahuan dalam Islam.[4] Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, proses pendidikan menjadi salah satu aspek penting dalam memberikan materi kepada peserta didik.
Proses transfer of knowledge dan transfer of value menjadi poin penting dalam proses pendidikan agama di Ki Santri. Sehingga mampu menyulap santri yang memiliki latar belakang negative, menjadi santri soleh. Ini membuktikan adanya strategi pendidikan agama yang patut dicontoh,
Demoralisasi yang saat ini terjadi merupakan sebuah keprihatinan yang sangat luar biasa bagi bangsa Indonesia. Penelitian akan pendidikan agama di Ki Santri sangat mendesak untuk dilakukan. Sebab, jika seorang anak terbiasa berperilaku negatif dibiarkan begitu saja, maka tindakan negatif akan semakin merajalela. Untuk mengentaskan problematika masyarakat yang diakibatkan oleh perilaku menyimpang, proses pendidikan agama yang dilakukan di pondok pesantren Ki Santri mampu menjadi salah satu referensi. Oleh karena itu, peneliti telah melakukan penelitian tentang “Model Pendidikan Agama Untuk Anak Bermasalah di Pondok Pesantren Ki Santri Desa Sukorejo Kendal”.
B.     Rumusan Masalah
Berangkat dari permasalahan diatas, masalah dijawab melalui penelitian ini adalah “Bagaimana Model Pendidikan Untuk Anak Bermasalah Agama di Pondok Pesantren Ki Santri Desa Sukorejo Kendal?”.


C.     Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian di pondok pesantren Ki Santri memiliki tujuan dan manfaat bagi pendidikan agama, khususnya Pendidikan Agama Islam di Indonesia. Adapun tujuan yang dicapai dalam penelitian skripsi ini yaitu mengetahui model pendidikan agama yang diterapkan di pondok pesantren Ki Santri sehingga mampu menginspirasi pengembangan model pendidikan agama di pesantren.
Sedangkan hasil penelitian ini pada intinya diharapkan dapat memberi manfaat antara lain:
1.      Mampu memberikan wawasan baru tentang pendidikan agama di pondok pesantren Ki Santri
2.      Dengan memahami konsep pendidikan agama menjadi penting sebagai bahan penambah khazanah keilmuan bagi diri sendiri dan juga masyarakat.
3.      Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pembelajaran dan pengembangan pendidikan agama di lembaga pendidikan di Indonesia.


[1] Samsul Munir Amin, Bimbingan dan Konseling Islam, (Jakarta: AMZAH, 2010), hlm. 350
[2] Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003), hlm. 26
[3] Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahan, Q.S Asy-Syura: 13, (Bandung: PT. Syaamil Cipta Media, 2005), hlm. 484
[4] Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 207


BAB II
MODEL PENDIDIKAN AGAMA DI PESANTREN

A.     Model Pendidikan Agama di Pesantren
1.      Pengertian Model Pendidikan Agama
Pengertian model dalam kamus besar bahasa Indonesia merupakan pola (contoh, acuan, ragam, dsb) dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan. Sebuah pendidikan memiliki beragam model dalam pembelajarannya. Harmuni dalam bukunya yang berjudul Strategi dan Model-Model Pembelajaran Aktif Menyenangkan, model memiliki makna yang lebih luas daripada pendekatan, strategi, metode atau prosedur.[1]
Pendidikan merupakan proses belajar bagi setiap manusia dalam usaha pengembangan potensi diri. Seperti yang dikutip dalam bukunya Ahmad Muthohar, Ideologi Pendidikan Pesantren, bahwa pendidikan adalah :
Pendidikan adalah penanaman akhlak yang mulia dalam jiwa anak-anak dan menyiraminya dengan petunjuk dan nasihat, hingga (didikan yang mereka terima) menjadi malakah (hal-hal yang meresap) dalam jiwa, kemudian malakah itu membuahkan kemuliaan, kebaikan, serta cinta beramal untuk kepentingan negara.  [2]
Keterangan tersebut jelas bahwa pendidikan selain mengajarkan tentang ilmu pengetahuan juga harus memberikan pembelajaran yang baik, yang dapat membentuk pribadi baik, memiliki keutamaan dalam akhlak. Dan hal tersebut dilakukan dengan pembinaan dan pembiasaan. Karena sesungguhnya manusia sejak awal memiliki potensi baik (fitrah).
Manusia adalah makhluk yang berketuhanan atau disebut homodivinous (makhluk yang percaya adanya Tuhan) atau disebut juga homoreligious artinya makhluk yang beragama.[3] Hal ini ditegaskan dalam Al Quran surat Al-A’raf: 172:
øŒÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ/_t/ tPyŠ#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJ­ƒÍhèŒ öNèdypkô­r&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".[4]
Pakar-pakar agama Islam berpendapat bahwa benih agama muncul dari penemuan manusia terhadap kebenaran, keindahan, dan kebaikan. Gabungan ketiga hal ini melahirkan kesucian.[5] Mulai dari sinilah, seseorang merasa kebutuhan akan beragama tertanam. Ketenangan akibat adanya kebenaran, keindahan, dan kebaikan mampu menjadi satu kekuatan dalam diri manusia.
Biasanya, orang-orang yang merespon agama dengan menekankan dimensi spiritualitasnya cenderung bersikap apresiatif terhadap nilai-nilai luhur keagamaan, meskipun berada dalam wadah agama lain. Sebaliknya, orang tersebut merasa terganggu oleh berbagai bentuk formalisasi agama yang berlebihan, karena hal  itu dinilainya akan menghalangi berkembangnya nilai-nilai moral dan spiritual keagamaan. “Agama bukan hanya pada dataran eksoterik, melainkan pada dataran esoteris.”[6]
Istilah agama disebut dalam sumber utama Islam, yakni Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad dengan kata-kata din. Pengertian din dalam Islam adalah ajaran yang diwahyukan Allah kepada para Nabi dan Rasul-Nya, sebagai petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akherat.[7] Dengan demikian, agama yang berpangkal pada iman, sepenuhnya, dipersaksikan dan diiringi pelaksanaan dengan taat dan patuh, dengan melibatkan seluruh potensi insaniah.
Menurut orang Jawa, agama adalah ageming ati atau dalam bahasa Indonesia berarti agama itu pakaian hati.[8] Adanya kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa ini, dibakukan oleh agama. Tidak heran, agama dalam penghayatan kelompok ini disebut Ageman, yang artinya pakaian atau baju.[9] Agama tidak semata memperhatikan aspek lahiriah saja, aspek batiniah merupakan aspek yang penting dalam beragama.
Pendidikan agama merupakan usaha sadar dan sistematis untuk mencapai taraf hidup atau kemajuan yang lebih baik dengan spesifikasi pada upaya pembangunan gagasan moral dengan basis suatu ajaran agama tertentu (Darmaningtyas, 2004).[10] Oleh karena itu, salah satu sasaran pendidikan agama adalah untuk membangun akhlak peserta didik menjadi baik, didukung dengan adanya interaksi dengan lingkungan, peristiwa, dan informasi dari sekitarnya.
Definisi lain yang berkaitan dengan pendidikan agama juga diungkapkan oleh Muhammad Zein dalam Metodologi Pengajaran Agama (1995). M. Zein mengatakan:
Pendidikan agama berarti usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik agar supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam. Tujuan mendidik agama adalah membentuk pribadi muslim yang taat, berilmu, dan beramal. Pendidikan agama juga mulai menyesuaikan dengan kebutuhan perkembangan jaman, sehingga penanaman nilai-nilai keagamaan akan selaras dengan perkembangan jaman saat ini.[11]
Pendidikan agama memiliki kepentingan besar dalam aspek afektif, sebab lebih menekankan kepada pembentukan kepribadian, pembentukan sikap, pembentukan karakter, pemupukan perasaan, penyempurnaan akhlak, penanaman keimanan dan ketaqwaan.[12] Beberapa aspek ini menjadi ruh pencapaian pendidikan agama, yang nantinya akan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Penekanan terhadap pengalaman anak menjadi point utama dalam penanaman pendidikan agama. Sehingga, anak mampu merasakan secara langsung pengalaman mengamalkan pengetahuan yang diberikan.
Pendidikan agama yang dibahas dalam skripsi ini adalah model pendidikan agama di pesantren. Pendidikan agama ini memuat ajaran tentang tata hidup yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Pendidikan agama harus berarti pengajaran tentang tata hidup yang berisi pedoman pokok yang akan digunakan oleh manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia dan di akherat nanti.[13] Pendidikan agama menunjukkan implementasi dari long life education, sebab pendidikan ini mampu membawa manusia menuju kebahagiaan dunia akherat.
2.      Model Pendidikan Agama Di Pesantren
Pada dasarnya, pesantren merupakan pendidikan Islam tradisional yang proses pendidikannya di bawah naungan kyai. Pondok merupakan karakteristik tradisi pesantren yang membedakan dengan pendidikan tradisional di masjid-masjid.[14] Pesantren memiliki karakteristik unik dalam mendidik peserta didik. Karakteristik itu pula yang pada akhirnya membedakan proses pendidikan agama di masing-masing pesantren. Pendidikan pesantren juga termasuk dalam pendidikan non formal.
Claudio Zaki Dib menjelaskan bahwa:
Non-formal education seems better to meet the individual needs of students. According to Ward, a systematic analysis of the main features of non-formal education, diversely from formal schooling, shows that participants are led to non-formal programmes because these offer the expertise that they hope to acquire and the necessary assistance for a better understanding of their own selves and of their world.[15]
Sejarah lahirnya pesantren memiliki banyak versi yang berbeda. Clifford Geertz sepakat bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional asli Indonesia, namun mempunyai pandangan berbeda dalam melihat proses lahirnya pesantren tersebut. Geertz berpendapat tentang lahirnya pesantren:
a.       Kelompok ini berpendapat bahwa pesantren merupakan hasil kreasi sejarah anak bangsa setelah mengalami persentuhan budaya dengan budaya pra-Islam. Pesantren merupakan sistem pendidikan Islam yang memiliki kesamaan dengan sistem pendidikan Hindu-Budha.
b.      Pesantren diadopsi dari lembaga pendidikan Islam Timur Tengah. Dalam bukunya, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, Martin Van Bruinessen menjelaskan bahwa pesantren cenderung lebih dekat dengan salah satu model sistem pendidikan di Al Azhar dengan sistem pendidikan riwaq yang didirikan pada akhir abad ke 18 M.[16]
Pesantren sebagai lembaga pendidikan dapat dikatakan kalah bersaing dalam menawarkan suatu model yang kompetitif yang mampu melahirkan out put (santri) yang memiliki kompetensi dalam penguasaan ilmu sekaligus skill. Arus globalisasi yang semakin berkembang pesat, menuntut perkembangan pesantren untuk menawarkan pengembangan model pendidikannya. Terkait problematika pendidikan pesantren dalam interaksinya dengan perubahan sosial akibat modernisasi ataupun globalisasi, kalangan internal pesantren sendiri sudah mulai melakukan pembenahan. Salah satu bentuknya adalah pengembangan model pendidikan agama dalam pesantren.
Pengembangan model pendidikan agama yang terdapat di pesantren, tidak terlepas dari tujuan pendidikan agama pesantren tersebut. Tujuan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat, dan berkhidmad kepada masyarakat.[17]
Pola pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren erat kaitannya dengan tipologi pondok pesantren sebagaimana yang dituangkan dalam ciri-ciri (karakterisktik) pondok pesantren. Hal ini juga mempengaruhi model pendidikan agama di pondok pesantren tersebut.[18] Menurut Yacub ada beberapa pembagian model-model pendidikan pondok pesantren yaitu:[19]
a.       Pesantren salafi yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajaran dengan kitab-kitab klasik dan tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pengajaran yang diterapkan dalam pesantren salaf yaitu dengan metode wetonan dan sorogan.
b.      Pesantren khalafi yaitu pesantren yang menerapkan sistem pengajaran klasikal (madrasah) memberikan ilmu umum dan ilmu agama serta juga memberikan pendidikan dan ketrampilan.
c.       Pesantren kilat, yaitu pesantren yang berbentuk semacam training dalam waktu relatif singkat dan biasa dilaksanakan pada waktu libur sekolah.
d.      Pesantren terintegrasi yaitu pesantren yang lebih menekankan pada pendidikan vocasional atau kejuruan sebagaimana balai latihan kerja di Departemen Tenaga Kerja dengan program terintegrasi.
Perkembangan jaman di era modern ini, menuntut pesantren untuk mampu mengembangkan model pendidikannya. Abdurrachman Mas’ud, dkk juga membagi empat model pesantren yang berkembang, yaitu:
a.       Model 1
Pesantren yang mempertahankan kemurnian identitas aslinya sebagai tempat mendalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-l-din) bagi para santrinya. Semua materi yang diajarkan di pesantren sepenuhnya bersifat keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab berbahasa Arab yang ditulis oleh para ulama abad pertengahan (7-13H) yang dikenal dengan kitab kuning.
b.      Model 2
Pesantren yang memasukkan materi umum dalam pengajarannya, namun dengan kurikulum yang disusun sendiri menurut kebutuhan dan tidak mengikuti kurikulum yang ditetapkan pemerintah secara nasional, sehingga ijazah yang dikeluarkan tidak mendapat pengakuan dari pemerintah sebagai ijazah formal. Santri jika hendak melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi, harus mengikuti ujian persamaan di sekolah lain.
c.       Model 3
Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan umum didalamnya, baik berbentuk madrasah (sekolah umum berciri khas Islam dibawah naungan Depag) maupun sekolah umum dibawah Depdiknas dalam berbagai jenjang bahkan sampai ke perguruan tinggi.
d.      Model 4
Pesantren yang merupakan asrama pelajar Islam dimana para santrinya belajar di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi diluar. Pendidikan agama di pesantren model ini diberikan diluar jam-jam sekolah, sehingga bisa diikuti oleh semua santrinya.[20]
Adanya pembagian model pendidikan agama di pesantren ini, tidak terlepas dari kurikulum yang diterapkan di pesantren. Pesantren lama belum mengenal kebiasaan merumuskan kurikulum. Namun, kurikulum pesantren sebenarnya meliputi seluruh kegiatan yang dilakukan santri selama sehari semalam. Dalam perkembangannya, untuk menjawab tuntutan era modern yang melingkupinya, banyak pesantren telah merumuskan kurikulum pesantren. “Dewasa ini, kurikulum pesantren meliputi empat tipe ngaji (mempelajari kitab kuning), pengalaman (pendidikan moral), sekolah (pendidikan umum), serta khusus dan ketrampilan.”[21]
Dewasa ini, pesantren salaf menerapkan sistem madrasati atau model klasikal. Berbeda dengan Mas’ud, Wahjoetomo mengatakan kurikulum pesantren madrasati pesantren salaf masih sangat umum, tidak dirumuskan secara jelas dan terperinci.[22] Kurikulum yang berkisar tentang ilmu agama diantaranya bahasa arab (nahwu dan sharaf), ilmu yang berhubungan dengan syariat (fiqh ibadah dan muamalah), Al-Qur’an beserta tafsir-tafsirnya, hadist, ilmu tauhid. Terkadang dilengkapi pula dengan ilmu mantiq (logika), tarikh (sejarah), dan tasawuf. Sedangkan pesantren khalaf, memasukkan pelajaran umum dalam kurikulumnya. Akan tetapi, tidak berarti pesantren khalaf meninggalkan sistem salaf. Meskipun telah menyelenggarakan sekolah umum, namun tetap menggunakan sistem salaf di pondoknya.
Karel A. Steenbrink dalam disertasinya  berjudul “Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern” mengungkapkan bahwa pendidikan pesantren pada masa akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 secara garis besar terbagi menjadi dua macam pengajaran, yakni:
a.       Pengajaran Al-Qur’an
Materi ajarnya menggunakan al-Qur’an sebagai pusat kajian sehingga disebut dengan pengajian al-Qur’an. Untuk permulaan, diajarkan surat Al Fatihah dan kemudian surat pendek dalam juz amma (terdiri dari surat 78-114) yang penting untuk melaksanakan ibadah. Mata pelajaran yang diberikan juga memuat unsur-unsur ilmu tajwid yang bermanfaat untuk melafalkan ayat-ayat suci dengan baik.
b.      Pengajaran menggunakan kitab
Tingkatan pertama pada pengajian kitab adalah mempelajari tentang bahasa Arab. Seluruh siswa belajar bahasa Arab yang tersusun dalam uraian pendek yang berbentuk sajak. Pelajaran agama ini adalah reliabel dengan kajian pesantren saat ini, dimana pada tahapan awal pendidikan diniyah di pesantren diajarkan ilmu alat yakni ilmu bahasa Arab terkait nahwu shorof hingga pada kajian tata bahasa Arab yang disebut dengan ilmu balaghah yang pada materinya menggunakan bahan kitab-kitab nadlomiyah. [23]
Pengajaran menggunakan kitab kuning menawarkan kesinambungan tradisi yang benar, yang mempertahankan ilmu-ilmu agama dari sejak periode klasik dan pertengahan.[24] Ada banyak kitab yang dipelajari pada abad ke 16 hingga 19. Martin van Bruinessen dalam bukunya Kitab Kuning dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia menjelaskan beberapa kitab yang dipelajari saat itu diantaranya Wejangan Seh Bari (Kitab Sunan Bonang), Ihya ‘Ulum Al-Din, dan kitab Tahmid (Al Tamhid fi Bayan Al-Tawhid karya Abu Syukur Al Kasyi Al Salimi).
Pada tahun 1864, Van Der Chijs mencatat kitab yang dipelajari santri diantaranya kitab ‘Amil karya Jurjani dan kitab Jurumiyah, kitab fiqh, dan kitab akidah (Asmarakandi dan Al-Durrah karya Sanusi).[25] Pengajaran kitab, mampu memberi akses pada santri untuk mengetahui masa keemasan peradaban Islam masa lalu, dan menunjukkan peran masa depan yang kongkret. Hal ini dapat dilakukan dengan cara hidup yang mendambakan damai, harmoni dengan masyarakat, lingkungan, dan Tuhan.
Secara tradisional, sistem pendidikan yang diterapkan di pesantren memilahkan secara tegas aspek pengembangan intelektual dan aspek pembinaan kepribadian. Sistem pendidikan pesantren lebih mengutamakan pembinaan kepribadian daripada pengembangan intelektual, sehingga daya kritis, tradisi kritik, semangat meneliti, dan kepedulian menawarkan sebuah konsep keilmuan tidak muncul dari pesantren. Penekanan pada pendidikan ini terlihat dari model pengajarannya. Pengajaran agama dengan menggunakan kitab-kitab muqarrarah mempergunakan sistem pengajian non klasikal, dengan urutan membaca,menterjemahkan dengan memperhatikan kedudukan tiap kata dalam kalimat. Sistem demikian ini disebut Grammatical Translation Approach.[26] Melalui sistem ini, pengembangan pikiran secara merdeka dan kritis oleh santri sangat mustahil dilakukan.
Model pembelajaran yang terdapat diberikan sangat beragam, salah satunya adalah model pembelajaran dengan pelatihan kesadaran. Model ini merupakan salah satu model pembelajaran yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran manusia. Model ini dikembangkan oleh Milliam Schutz. Milliam Schutz dalam bukunya Hamzah B. Uno, Model Pembelajaran, Menciptakan Proses Belajar Meengajar yang Kreatif dan Efektif menekankan pentingnya pelatihan interpersonal sebagai sarana peningkatan kesadaran pribadi (pemahaman diri individu). Kunci model ini didasarkan atas teori encounter.[27] Kesadaran sebagai esensi dari kemanusiaan, dapat meningkatkan hubungan antar sesama manusia. Model ini membuka diri antar sesama manusia untuk berinteraksi dengan penuh keterbukaan, kejujuran, kesadaran diri, tanggung jawab, perhatian terhadap diri sendiri atau orang lain.
Model pendidikan agama seharusnya diarahkan pada proses perubahan dari normatif ke praktis dan dari kognitif ke afektif dan psikomotorik. Perubahan arah tersebut dengan tujuan agar wawasan ke-Islaman mampu ditransformasikan secara sistematik dan komprehensif bukan saja dalam kehidupan konsep, melainkan juga dalam kehidupan riil ditengah-tengah masyarakat.
Manusia selaku makhluk Tuhan dibekali berbagai potensi yang dibawa sejak lahir dan salah satunya adalah fitrah. Fitrah manusia diberi kemampuan untuk memilih jalan yang benar dan yang salah, kemampuan ini diperoleh dari proses pendidikan yang telah mempengaruhinya.[28] Oleh sebab itu, adanya pendidikan agama diharapkan seorang anak tidak hanya cerdas secara kognitif saja, akan tetapi juga secara emosionalnya dengan keimanan yang kukuh. Sehingga seorang anak akan tumbuh dengan kecerdasan yang cukup dan juga memiliki rasa simpati dan empati (respek) dalam kehidupan sehari-hari disekitar lingkungannya. Aspek pendidikan tidak hanya menekankan pada nilai prestasi akademik dan tidak hanya mementingkan kecerdasan sepihak (kognitif) saja.
Adanya ragam model pendidikan pesantren yang berkembang merupakan jawaban atas kebutuhan masyarakat Indonesia yang berubah-ubah. Meskipun demikian, ada satu kesamaan yang mendasar yang menjadi pijakan semua pesantren dalam melaksanakan pendidikannya. “Kesamaan prinsip pesantren adalah tujuan pendidikan yang tidak semata-mata memperkaya pikiran santri dengan ilmu sebanyak-banyaknya, tetapi lebih dari itu yakni mempertinggi moral keagamaan.”[29]
3.      Unsur-unsur Pesantren
Pada dasarnya pesantren dibangun atas dasar keinginan bersama dua komunitas yang saling bertemu. Yaitu komunitas santri yang ingin menimba ilmu sebagai bekal hidup dan kyai/ guru yang secara ikhlas ingin mengajarkan ilmu dan pengalamannya. Relasi didaktik ini saling melengkapi. “Kiai dan santri adalah dua entitas yang memiliki kesadaran yang sama untuk secara bersama-sama membangun komunitas keagamaan yang disebut pesantren.”[30] Pola yang sedemikian rupa inilah yang mampu membentuk pola kehidupan dan pendidikan di pesantren. Adapun yang termasuk dalam unsur-unur pendidikan dalam pesantren diantaranya:
a.      Kiai
Eksistensi pesantren tidak terlepas dari peran kiai sebagai pengasuh. Tingginya status dan besarnya peran kiai dalam pembinaan dan pengembangan pesantren sebagai pusat pendidikan dan dakwah Islam, menjadikannya sebagai sosok kiai yang sangat berpengaruh dan disegani di komunitas pesantren, bahkan terhadap masyarakat di luar pesantren.[31]
Posisi kyai dalam pesantren sangat dominan dan menjadi sumber rujukan semua pesantren atau bahkan bersifat individual interprise, maka pesantren tersebut masuk dalam kategori konservatif.[32] Kyai sebagai tokoh kharismatik dengan luasnya ilmu pengetahuan, selain sebagai rujukan juga sebagai pemimpin yang memberikan suri tauladan bagi santri.
Ketokohan kiai yang sekaigus sebagai pengasuh pesantren dipandang sebagai seorang tokoh yang kharismatik karena pengaruhnya yang kuat, khususnya dikalangan komunitas wali santri. Kuatnya karisma kiai ini tampak dari sikap dan tindakan wali santri yang sangat menghormatinya dan mengindahkan fatwa-fatwanya, bahkan mereka mentaati nasihat-nasihatnya.[33] Meskipun terkesan sentralistik, namun dinamika pesantren justru mampu berjalan dengan baik.
Kyai merupakan elemen yang paling esensial dari suatu pesantren. Kyai seringkali bahkan merupakan pendirinya.[34] Kyai dengan pengetahuannya tentang agama Islam, dipandang sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam dan karenanya mereka dianggap memiliki kedudukan yang terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam.
b.      Santri
Perkataan santri digunakan untuk menunjuk pada golongan orang-orang Islam di Jawa yang memiliki kecenderungan lebih kuat pada ajaran-ajaran agamanya. Asal usul perkataan santri itu ada (sekurang-kurangnya) dua pendapat yang bisa kita jadikan acuan, yaitu:
Pertama, santri berasal dari perkataan "sastri", sebuah kata dari bahasa Sanskerta, yang artinya melek huruf. Kaum santri adalah kelas "literary" bagi orang Jawa. Ini disebabkan pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab bertuliskan Arab. Kedua, adalah pendapat yang mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, persisnya dari kata cantrik, yang artinya seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru ini pergi menetap.[35]
Santri merupakan elemen penting dalam pesantren. menurut tradisi pesantren, terdapat dua kelompok santri, yakni:
1)      Santri mukim, yaitu santri-santri yang berasal dari daerah jauh dan menetap dalam kelompok pesantren. Santri mukim yang menetap paling lama tinggal di pesantren tersebut biasanya merupakan suatu kelompok tersendiri yang memegang tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari. Santri juga memikul tanggung jawab mengajar santri muda tentang kitab-kitab dasar dan menengah.
2)      Santri kalong yaitu satri-santri yang berasal dari desa-desa sekeliling pesantren yang biasanya tidak menetap dalam pesantren (nglajo) dari rumahnya sendiri.[36]
c.       Asrama (Pondok)
Pondok, asrama bagi santri merupakan ciri khas tradisi pesantren, yang membedakannya dengan sistem pendidikan tradisional di masjid-masjid yang berkembang dikebanyakan wilayah Islam di negara-negara lain. Pondok sebagai wadah pendidikan manusia seutuhnya sebagai operasionalisasi dari pendidikan yakni mendidik dan mengajar. Mendidik secara keluarga berlangsung di pondok, sedangkan mengajarnya di kelas-kelas/ mushola. Oleh karena itu, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang pertama mengembangkan lingkungan hidup dalam arti kata pengembangan sumberdaya manusia dari segi mentalnya.
d.      Masjid
Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam sembahyang lima waktu, khotbah, dan shalat jumah, dan mengajarkan kitab-kitab klasik. Masjid juga merupakan tempat paling penting dan merupakan jantung dari eksistensi pesantren.
e.       Pengajaran kitab kuning
Kitab kuning sebagai kurikulum pesantren ditempatkan pada posisi istimewa. Berdasarkan catatan sejarah, pesantren telah mengajarkan kitab-kitab klasi, khususnya karangan-karangan madzhab syafi’iyah. Pengajaran kitab kuning berbahasa Arab tanpa harakat atau kitab gundul, merupakan satu-satunya metode yang secara formal diajarkan dalam pesantren di Indonesia.[37] Selain pondok sebagai karakteristik pesantren, pengajaran kitab kuning menjadi bagian dari karakteristik dari pendidikan agama di pesantren.



4.      Pola Kehidupan Pesantren
Manusia dengan beragam latar belakang pastinya membutuhkan pendidikan agama. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar dari manusia, sebab kehidupan merupakan proses pendidikan yang paling nyata. Proses pendidikan agama harus diberikan dengan mudah agar dapat dipahami oleh peserta didik. Adanya kemudahan dalam memahami ilmu agama, akan membuat seseorang melaksanakan apa yang diajarkan. Seperti hadits:
حَدَّ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّار قَلَ حَدَّ ثَنَا بَحْي بْنُ سَعِيْدٍ قَالَ حَدَّ ثَنَا شُعْبَةُ قَالَ حَدَّ ثَنِ أَبُو التَّيَّاحِ عَنْ أَنَسٍ رَضِي اﷲُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صلي اﷲ عَلَيْهِ وَسَلَمْ قَالَ يَسِّرُوْا وَلَا تُعَسِّرُوْا وَبَشِّرُوْا وَلاَ تُنَفِّرُوْا
Anas bin Malik Ra meriwayatkan: Nabi bersabda, “Permudahlah (manusia dalam soal-soal agama) dan jangan mempersukar mereka, dan berilah mereka kabar gembira dan janganlah mereka dibuat lari (dari Islam).[38]
Pendidikan agama yang diberikan di pesantren, berbeda dengan pendidikan agama yang diberikan di sekolah pada umumnya. Pola kehidupan pesantren memiliki keistimewaan sendiri. “Komunitas keagamaan pesantren dilandasi oleh keinginan ber-tafaqquh fi al din (mendalami, megkaji agama) dengan kaidah al-muhafzhah ‘ala al qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik).”[39] Dengan landasan itulah, pesantren tumbuh dan berkembang dengan karakter yang khas.
Jiwa merupakan ciri kepribadian yang terdapat di pondok pesantren. Jiwa yang dimaksud adalah ruh yang mendasari dan meresapi seluruh kegiatan yang dilakukan oleh segenap keluarga pondok. Ruh tersebut dirumuskan oleh KH. Imam Zarkasyi dengan "Panca Jiwa" pondok, berupa keikhlasan, kesederhanaan, persaudaraan, menolong diri sendiri, dan kebebasan. Pondok pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin, mempunyai fungsi pemeliharaan, pengembangan, penyiaran, dan pelestarian Islam.[40] Dari segi kemasyarakatan pesantren menjalankan pemeliharaan dan pendidikan mental. Pendidikan ini, semata-mata sebagai bekal dalam menghadapi kehidupan di lingkungan yang sebenarnya. Berikut kelima Panca Jiwa pondok pesantren:
a.       Jiwa keikhlasan. Yaitu jiwa kepesantrenan yang tidak didorong oleh ambisi apapun untuk memperoleh keuntungan-keuntungan tertentu khususnya secara material, melainkan semata-mata karena beribadah kepada Allah.
b.      Jiwa kesederhanaan. Kata sederhana ini bukan berarti pasif, melarat, miskin, atau menerima apa adanya. Tetapi mengandung unsur kekuatan dan ketabahan hati, kemampuan mengendalikan diri, dan kemampuan menguasai diri dalam menghadapi kesulitan.
c.       Jiwa kemandirian. Kemandirian disini bukanlah kemampuan dalam mengurusi persoalan-persoalan internal pesantren. Namun kesanggupan membentuk kondisi pesantren sebagai institusi pendidikan Islam yang merdeka dan tidak menggantungkan diri kepada bantuan dan pamrih pihak lain.
d.      Jiwa bebas. Jiwa yang bebas ini mengandaikan sivitas pesantren sebagai manusia yang kokoh dalam memilih jalan hidup dan masa depannya dengan jiwa besar dan sikap optimis menghadapi segala problematika kehidupan dengan nilai-nilai Islam.
e.      Jiwa ukhuwah Islamiyah. Jiwa ukhuwah Islamiyah ini memanifestasi dalam keseharian pesantren yang bersifat dialogis, penuh keakraban, penuh kompromi, dan toleransi. Jiwa ini mematri suasana yang damai, sejuk, senasib, saling membantu, dan saling menghargai bahkan saling meng-support dalam pembentukan dan pengembangan idealisme santri.[41]
Proses belajar di pesantren mencerminkan prinsip belajar melalui praktek. Landasan lima panca tersebut, mampu memperkokoh mental santri dalam menuntut ilmu. Prinsip ini efektif untuk melihat dan mengukur kompetensi psikomotorik santri. Aktivitas learning by doing (belajar sambil melakukan) benar-benar dilakukan seperti keterlibatan santri dalam menjaga dan membersihkan lingkungan pesantren setiap hari jumat, maupun yang bersifat nonfisik, seperti keterlibatan santri dalam ronda malam.[42] Santri dibiasakan tanggap akan kondisi sosial, akan berdampak positif pula pada peserta didik.
5.      Sistem Pendidikan Pesantren
Mekanisme kerja kelembagaan pondok pesantren, pilar-pilar pondok pesantren (santri, khadam, dan guru/ ustad) merupakan satu kesatuan kekuatan yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme), tetapi tetap mendudukkan peran kiai sebagai pilar utama.[43] Pola demikian mampu dibangun, sebab mayoritas kyai selain memimpin pesantren juga pemilik pesantren. Pesantren juga menghubungkan para orang tua santri dengan para kiai dengan komunikasi yang baik. Sehingga, komunikasi yang ada tidak sebatas antara kyai dengan santri, namun juga para wali santri.
Proses pendidikan agama di pesantren memiliki sistem pendidikan dan pengajaran, diantaranya:
a.       Sistem Pendidikan dan Pengajaran yang Bersifat Tradisional
1)      Sorogan
Sistem pengajaran pola sorogan dilaksanakan dengan jalan santri yang biasanya pandai menyorongkan sebuah kitab kepada kyai untuk dibaca dihadapan kyai itu. Di pesantren besar, sorogan dilakukan oleh dua atau tiga orang santri saja, yang biasa terdiri dari keluarga kyai atau santri-santri yang diharapkan menjadi alim dikemudian hari.
2)      Wetonan
Sistem pengajaran pola wetonan dilaksanakan dengan jalan santri kyai membaca suatu kitab dalam waktu tertentu dan santri dengan membawa kitab yang sama mendengarkan dan menyimak bacaan kyai.[44] Sistem wetonan dalam pengajarannya tidak mengenal absensi, santri boleh datang, boleh tidak.
3)      Bandongan
Bandongan merupakan model pengajian yang dilakukan seperti kuliah terbuka yang diikuti sejumlah santri. Kyai membaca, menterjemahkan, menerangkan, mengulas kitab-kitab salaf berbahasa Arab, sedang santri memperhatikan dan mendengarkan sambil menulis apa yang disampaikan.
Ketiga pola pengajaran ini berlangsung semata-mata tergantung kepada kyai, sebab segala sesuatu yang berhubungan dengan waktu, tempat, dan materi pengajaran (kurikulum) terletak pada kyai atau ustadzlah yang menentukan keberhasilan proses belajar mengajar di pondok pesantren, sebab otoritas kyai sangat dominan di dalam memimpin pondok.[45]
b.      Sistem Pendidikan dan Pengajaran yang Bersifat Modern
1)      Sistem Klasikal
Pola penerapan sistem klasikal ini adalah dengan pendirian sekolah-sekolah baik kelompok yang mengelola pengajaran agama maupun ilmu yang dimasukkan dalam kategori umum dalam arti termasuk di dalam disiplin ilmu-ilmu kauni (ijtihad-hasil perolehan manusia) yang berbeda dengan agama yang sifatnya tauqifi (dalam arti kata langsung ditetapkan bentuk dan wujud ajarannya).
2)      Sistem Kursus-Kursus
Pengajaran sistem kursus ini mengarah kepada terbentuknya santri yang memiliki kemampuan praktis guna terbentuknya santri-santri yang mandiri menopang ilmu-ilmu agama yang mereka tuntut dari kyai melalui pengajaran sorogan, wetonan.
3)      Sistem Pelatihan
Sistem pelatihan menekankan pada kemampuan psikomotorik. Pola pelatihan yang dikembangkan adalah termasuk menumbuhkan kemampuan praktis seperti pelatihan pertukangan, perkebunan, perikanan, manajemen koperasi dan kerajinan-kerajinan yang mendukung terciptanya kemandirian integratif.[46]
Pola ataupun sistem yang ada di pesantren inilah yang menjadi salah satu unggulan dan karakter khas diantara model pendidikan pesantren yang berkembang di Indonesia.
B.     Kajian Pustaka

Kajian yang dilakukan oleh para akademisi dalam mengupas permasalahan tentang pendidikan di pesantren sangatlah banyak. Beberapa kajian relevan diantaranya penelitian Narisan dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (2008). Penelitian berjudul “Sistem Pendidikan Pesantren Menurut Nurcholis Madjid” ini mengungkap kontribusi pemikiran Nurcholis Madjid terhadap system pendidikan pesantren di Indonesia. Penelitian ini menyoroti 3 aspek penting dalam system pendidikan pesantren, diantaranya metodologi pengajaran pesantren yang masih sentralistik pada satu kekuasaan tertinggi kiai, tujuan pendidikan hanyalah berorientasi pada urusan akherat, materi pengajaran pesantren hanya berkutat di bidang agama dan moral.

Ali Maksum dalam penelitiannya “Model Pendidikan Toleransi di Pesantren Modern dan Salaf mengungkap model pendidikan toleransi di pesantren modern Gontor  Ponorogo dan pesantren salaf Tebuireng Jombang. Ciri khas pesantren modern berupaya memadukan antara tradisionalis dan modern. Sistem pengajaran wetonan dan sorogan, diganti dengan system klasikal. Pendidikan berwawasan toleransi secara prinsip telah diterapkan dalam sistem pendidikan pondok modern Gontor dan Tebuireng. Pendidikan ini tercakup dalam system formal kurikulum maupun proses pembelajaran sehari-hari.

Penelitian yang mengambil objek kajian di pesantren lainnya adalah “Implementasi Pendidikan Karakter Di Pesantren Modern Al-Aqsh”. Penelitian yang dilakukan Sofwan Abdul Aziz ini mengungkap tentang pendidikan karakter di pesantren Al-Aqsh. Pendidikan karakter yang diterapkan di pondok secara terencana, sistematis, holistik, dan evaluatif. Pendidikan karakter diimplementasikan pada setiap aktivitas pondok baik secara implisit maupun eksplisit. Usaha pondok dalam menerapkan karakter mencakup pembelajaran, keteladanan, pembiasaan,  pemotivasian, sampai penegakan aturan. Penerapan pendidikan karakter sangat didukung dengan situasi dan kondisi Pondok Modern Al-Aqsha. Dengan tinggalnya para santri di asrama, pembentukan karakter dapat dilakukan secara optimal. Namun keteladanan (figur), kurangnya kekompakkan dan kedisiplinan para pengurus (konsistensi) menjadi kendala yang harus dipecahkan selanjutnya.

 

C.     Kerangka Teori
Kajian tentang model pendidikan agama di pesantren Ki Santri sangat berkaitan erat dengan latar belakang santri. Input yang ada di pesantren Ki Santri mayoritas adalah anak-anak pecandu narkoba, pemabuk, perampok, bahkan pembangkang orang tua. Perilaku ini merupakan kenakalan remaja yang tengan menjamur di Indonesia. Kartini Kartono dalam Patologi Sosial 2, Kenakalan Remaja mengatakan:
Perilaku jahat (dursila) atau kejahatan/ kenakalan anak-anak muda yang merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak, remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang dan ini dikenal dengan istilah juvenile delinquency.[47]
Ketimpangan perilaku remaja inilah yang mendasari lahirnya pesantren Ki Santri. Santri dengan beragam latar belakang negatif memiliki pengaruh besar terhadap proses pendidikan agama yang diberikan. Berawal dari sinilah, kebutuhan akan pengembangan model pendidikan agama sangat diperlukan dalam mendidik santri.
Teori yang digunakan diantaranya menurut Yacub yang membagi model pendidikan pesantren menjadi empat model, yakni pendidikan agama di pesantren salafi, khalafi, kilat, dan terintegrasi. Teori lain yang dapat membantu menjelaskan model pendidikan agama di pesantren Ki Santri adalah pemikiran Abdurrachman Mas’ud, dkk yang membagi empat model pendidikan agama di pesantren. Mas’ud membagi empat model pendidikan agama di pesantren dengan melihat perkembangan jaman sehingga menuntut pesantren untuk terus berkembang. Disamping itu, kombinasi dari empat kurikulum mengaji, pendidikan moral, sekolah, serta kursus dan ketrampilan melahirkan ragam model pendidikan pesantren.
Teori lain yang mempertajam penelitian model pendidikan agama di pesantren Ki Santri adalah hasil penelitian oleh Karel A. Steenbrink. Di dalam pendidikan agama, memuat pengajaran yang diberikan kepada santri. Karel A. Steenbrink membaginya menjadi pengajaran agama dengan al-Qur’an dan kitab. pengajaran agama dengan Al-Qur’an bercorak individual. Pengajaran agama model ini mempelajari huruf-huruf Arab dan melafalkan teks-teks yang terdapat dalam Al-Qur’an. Sedang pengajaran yang menggunakan kitab, pada awalnya mempelajari tata bahasa Arab. Kemudian setelah itu barulah mempelajari fiqh, tauhid, dan tafsir Al-Qur’an. Pada tahapan selanjutnya barulah mempelajari tasawuf, hadits, hisab atau falak.
Dalam proses pendidikan di pesantren, menunjukkan adanya sistem pengajaran yang mewarnai proses pendidikan santri. Sistem pengajaran yang digunakan dalam pesantren bersifat tradisional dan modern. Dalam proses pengajaran menggunakan salah satu sistem pengajaran ini telah menunjukkan dialektika antara santri dengan ustadz ataupun kyai.
Hasil akhir model pendidikan agama merupakan format yang dipandang mampu memberikan jawaban akan permasalahan kenakalan remaja yang terjadi di Indonesia. Sehingga, mampu mengatasi beragam problem yang tumbuh dalam masyarakat serta melahirkan generasi berakhlak mulia.
Secara singkat, kerangka teori yang dipakai dalam penelitian ini digambarkan dalam bentuk skema sebagai berikut:
Model Pendidikan Agama
Mengatasi Problem Santri
Pendidikan Ketrampilan
Pendidikan Kitab
Pendidikan Al-Qur’an
 


[1] Hamruni, Strategi dan Model-Model Pembelajaran Aktif Menyenangkan, (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, 2009), hlm. 5
[2] Ahmad Muthohar, Ideologi Pendidikan Pesantren, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007),  hlm. 41
[3] Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, , (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), hlm. 71
[4] Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahan, Q.S Al-A’raf: 172, (Bandung: PT. Syaamil Cipta Media, 2005), hlm. 173
[5] M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: PT. Mizan Pustaka), hlm. 326
[6] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 4
[7] Abdurrahman Wahid, dkk, Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 78
[8]  JB. Sudarmanto, Agama dan Ideologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 15
[9]  Baihaqi.,dkk., Agama dan Relasi Sosial, (Jogjakarta: LkiS, 2002), hlm. 103.
[10] Misbah Zulfa Elizabeth, dkk, Pendidikan Agama Anak Orang Kalang, (Semarang: Pusat Penelitian IAIN Walisongo, 2010), hlm. 23
[11] Muhammad Zein, Methodologi Pengajaran Agama, (Yogyakarta: AK Group, 1995), hlm. 200
[12] Muhammad Zein, hlm. 200
[13] Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: t.p.1985), hlm. 46-47
[14] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1982),  hlm. 45
[15] E-book: Claudio Zaki Dib, Formal, Non-Formal And Informal Education: Concepts/Applicability, (New York: American Institute, 1988), hal. 3

[16] HM Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, (ttp.: IRD Press, 2004), hlm. 4
[17] Ahmad Muthohar, hlm. 94
[18]  Yasmadi, Modernisasi Pesantren, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 78
[19] Ida Rahmawati, “Model Pendidikan di Pesantren (Studi Kasus di Indonesia)”, http://makalahmeza.blogspot.com/, diakses pada 18 Juni 2014
[20] Abdurrachman Mas’ud, dkk, Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 149-150
[21] Abdurrachman Mas’ud, dkk, Dinamika Pesantren dan Madrasah, hlm. 148-149
[22] Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Alternatif Masa Depan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 84-87
[23] Karel A Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta:LP3ES, 1994), hlm. 10-13
[24] Syamsul Ma’arif, Pesantren VS Kapitalisme Sekolah, (Semarang: Need’s Press, 2008), hlm. 75
[25] Martin van Bruinessen,  Kitab Kuning dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 29
[26] Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demikratisasi Institusi, (Jakarta: Erlangga, t.t), hlm. 71
[27] Hamzah B. Uno, Model Pembelajaran, Menciptakan Proses Belajar Meengajar yang Kreatif dan Efektif, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm.21
[28] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta :Bumi Aksara, 1995), hlm. 70.
[29] Abdurrachman Mas’ud, dkk, Dinamika Pesantren dan Madrasah, hlm. 153
[30] Ahmad Barizi, Pendidikan Integratif, (Malang: UIN Maliki Press, 2011), hlm. 46
[31] In’am Sulaiman,  Masa Depan Pesantren, (Malang:Madani, 2010),hlm. 101
[32] Ahmad Muthohar, Ideologi Pendidikan Pesantren, hlm. 105
[33] In’am Sulaiman,  Masa Depan Pesantren, hlm. 103
[34] Sindu Galba, Pesantren Sebagai Wadah Komunikasi, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1995), hlm 62
[35] Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 19-21
[36] Umiarso, Pesantren di Tengah Arus Mutu Pendidikan, (Semarang: RaSAIL, 2011), hlm. 33
[37] Umiarso, Pesantren di Tengah Arus Mutu Pendidikan, hlm. 29-35
[38] Ahmadie Thaha, Shahih Bukhari Jilid I, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), hlm. 88-89
[39] Ahmad Barizi, Pendidikan Integratif, hlm. 46
[40] Abdurrahman Wahid,dkk, Pesantren dan Pembaharuan, (LP3ES: 1998), hlm. 82-83
[41] Ahmad Barizi, hlm. 46-47
[42] In’am Sulaiman,  hlm. 100
[43] Syamsul Ma’arif, hlm. 64-66
[44] M. Bahri Ghazali, Pendidikan Pesantren Berwawasan Lingkungan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2001), hlm. 30
[45] Ahmad Muthohar, hlm. 27
[46] M. Bahri Ghazali, Pendidikan Pesantren Berwawasan Lingkungan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2001), hlm. 30-32
[47] Kartini Kartono, Patologi Sosial 2, Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 6


BAB III
METODE PENELITIAN

Metode dalam sebuah penelitian sangat berpengaruh terhadap hasil penelitian. metode penelitian adalah suatu pengkajian dalam pembelajaran peraturan-peraturan yang terdapat dalam penelitian.[1] Dalam hal ini, ada tujuh hal yang menjadi bagian dari metode penelitian ini. Dalam skripsi ini metode penelitian yang digunakan, yaitu sebagai berikut: 
A.     Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Penelitian ini dilakukan dengan jenis penelitian lapangan. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa dalam suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.[2] Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, memungkinkan peneliti untuk mempelajari isu-isu tertentu secara mendalam dan mendetail. Hal tersebut dikarenakan pengumpulan data tidak dibatasi pada kategori tertentu saja.
B.     Tempat dan Waktu Penelitian
1.      Profil singkat tempat penelitian
Tempat penelitian adalah Pondok Pesantren Ki Santri Desa Sukorejo Kendal. Pesantren ini berlokasi di desa Sukorejo kabupaten Kendal. Tahun 1996 merupakan awal berdirinya Pondok Pesantren Ki Santri  Ki Santri. Awalnya, pesantren ini berada di desa Sumber Kebumen dengan jumlah santri sebanyak 70 orang. Namun semenjak tahun 2000, pesantren ini menetap di desa Sukorejo tepatnya dusun Sentul. Kini santri yang bermukim disana ada sekitar 25 santri.
2.      Alasan pemilihan lokasi penelitian
Pondok Pesantren Ki Santri merupakan salah satu lembaga pendidikan yang unik. Di tempat inilah proses pendidikan untuk anak bermasalah dilaksanakan. Sehingga mampu menjadi objek yang menarik untuk melakukan penelitian, khususnya tentang model pendidikan agama.
C.     Data
Data merupakan bagian penting dalam penelitian. Data yang digali dalam penelitian ini diantaranya adalah data-data tentang latar belakang santri. Selain itu, kegiatan santri, model pendidikan agama yang dilakukan di pesantren Ki Santri, serta pengaruh pesantren terhadap lingkungan sekitar menjadi data yang peneliti gali.

D.     Sumber Data
Yang dimaksud sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data diperoleh.[3] Menurut Lofland yang dikutip oleh Lexy J. Moleong bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.[4]
Adapun dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber data primer yang diperoleh dari pengasuh, ketua pondok, ustadz, santri-santri Pondok Pesantren Ki Santri dan masyarakat sekitar.
E.     Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini menekankan pada model pendidikan agama yang terdapat pada pondok pesantren Ki Santri.
F.      Tekhnik Pengumpulan Data
Penelitian pendidikan karakter di Pondok Pesantren Ki Santri ini menggunakan metode pengumpulan data dengan memaksimalkan data yang diperoleh dari pengasuh, ustadz, dan beberapa santri di Pondok Pesantren Ki Santri. Selain itu, data-data lain diperoleh dari masyarakat sekitar pesantren tersebut, tepatnya di desa Sukorejo Kendal. Dalam hal ini, beberapa metode pengumpulan data yang digunakan diantaranya:

1.      Observasi
Teknik ini digunakan untuk mengamati secara langsung kegiatan yang dilakukan oleh objek penelitian.[5] Dengan demikian, peneliti hanya mengambil sebagian yang dianggap perlu untuk dilakukan pengamatan yang disentralkan pada pokok obyeknya.
2.      Wawancara
Tekhnik wawancara ini digunakan untuk menggali data yang tidak dapat digali melalui observasi. Wawancara ini dilakukan dengan melakukan tanya jawab terhadap objek penelitian dengan mengajukan beberapa pertanyaan. Wawancara ini dilakukan secara langsung dan dilakukan tanpa adanya unsur paksaan.
3.      Dokumentasi
Metode dokumentasi digunakan untuk menggali data yang tidak nampak atau tidak didapat dari wawancara. Kegiatan ini dilakukan dengan mencari data mengenai hal-hal yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda yang terkait dengan fokus penelitian.
G.    Uji Keabsahan Data
Untuk menjamin dan mengembangkan validitas data yang dikumpulkan dalam penelitian ini maka teknik pengembangan yang digunakan dalam penelitian kualitatif yaitu teknik triangulasi. Dalam teknik pengumpulan data, triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Peneliti melakukan pengumpulan data dengan triangulasi, maka sebenarnya peneliti mengumpulkan data yang sekaligus menguji kredibilitas data, yaitu mengecek kredibilitas data dengan berbagai teknik pengumpulan data dan berbagai sumber data.[6]
Peneliti menggunakan triangulasi teknik, berarti peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama. Peneliti menggunakan observasi partisipatif, wawancara terstruktur, dan dokumentasi untuk mendapatkan sumber data yang sama secara serempak.
Observasi Partisipatif Pasif
Wawancara Terstruktur

Sumber Data
Dokumentasi
 







Gambar 1.1. Gambar Sumber Data
H.    Tekhnik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dan memerlukan ketelitian serta kekritisan dari peneliti. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis. Dalam penelitian ini akan disajikan tentang analisis fenomena sosial yang terdapat dalam pondok pesantren Ki Santri.
Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data pada periode tertentu. Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang di wawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan pertanyaan lagi sampai tahap tertentu diperoleh data yang dianggap kredibel.[7]
Analisis yang peneliti kumpulkan antara lain berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka. Jadi, laporan penelitian ini akan berisi kutipan-kutipan data yang memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Analisa yang dilakukan sebelum ke lapangan, saat di lapangan, saat pengumpulan data, dan setelah selesai mengumpulkan data.
Langkah-langkah analisis data:
1.      Mengolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis
Langkah ini melibatkan transkip wawancara, men-scanning materi, mengetik data lapangan, atau memilah-milah dan menyusun data tersebut ke dalam jenis yang berbeda tergantung pada sumber informasi.

2.      Membaca keseluruhan data
Peneliti membangun general sense atas informasi yang diperoleh dan merefleksikan maknanya secara keseluruhan.
3.      Menganalisis lebih detail dengan mengcoding data
Merupakan proses mengolah materi/ informasi menjadi segmen tulisan sebelum memaknainya.
4.      Terapkan proses coding
Proses ini untuk mendeskripsikan setting, orang-orang, kategori-kategori, dan tema-tema yang akan dianalisis. Deskripsi ini melibatkan usaha penyampaian informasi secara detail mengenai orang-orang, lokasi, atau peristiwa dalam setting tertentu.
5.      Tunjukkan bagaimana deskripsi dan tema-tema ini akan disajikan kembali dalam bentuk laporan
6.      Menginterpretasi atau memaknai data.[8]



[1] Husaini Usman, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 41.
[2] Lexy J Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 6
[3] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006),  hlm. 129.
[4] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 157.
[5] Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, (Jakarta:Rineka Cipta,2011), hlm.64
[6] Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2010), hlm. 330
[7] Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, hlm. 337
[8] Jhon W. Creswell, Reseach Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed, terj. Ahmad Fawaid, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 276-284


BAB V
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Probelamatika akibat kenakalan remaja saat ini tengah menjamur. Hal ini pastinya sangat meresahkan masyarakat. Pondok pesantren Ki Santri di desa Sukorejo-Kendal hadir sebagai salah satu pesantren yang mendidik santri yang memiliki latar belakang negatif seperti pecandu narkoba, perampok, preman, anak punk, dll. Memiliki santri yang unik ini menjadikan pesantren Ki Santri menerapkan model pendidikan agama yang jitu. Hal ini bertujuan agar santri mau dan mampu memahami sekaligus mengamalkan ajaran agama Islam.
Proses pendidikan agama di Ki Santri diberikan dengan menggunakan pengajaran Al-Qur’an dan kitab. Adapun materi yang dipelajari di Ki Santri yakni,
1.      Pendidikan agama yang pengajarannya dengan Al-Qur’an
Pengajaran Al-Qur’an diberikan agar santri mampu membaca, memahami, dan mengamalkan pengajaran Al-Qur’an. Materi yang dipelajari dalam pengajaran ini tidak sekedar baca tulis Al-Qur’an, namun juga mempelajari tentang ilmu tajwid dan nahwu shorf.
2.      Pendidikan agama yang pengajarannya dengan kitab
Pengajaran dengan menggunakan kitab di Ki Santri mempelajari kitab Ta’lim Muta’allim dan Sulam taufiq. Pada pengajaran kitab, santri mempelajari kitab sulam taufiq dan ta’lim muta’allim. Kedua kitab ini diberikan kepada santri agar santri paham akan hukum Islam, sehingga mampu mengamalkannya.
Untuk memperkuat kepribadian santri dalam mendalami ilmu agama, di Ki Santri juga diberikan pendidikan agama melalui dzikrullah dan pengajian hati. Kedua kegiatan ini menjadi penguat dan untuk memantapkan pribadi santri untuk menjadi lebih baik. Terbukti bahwa santri semakin sadar dan mau berusaha belajar ilmu agama di Ki Santri dan juga meninggalkan masa lalu yang negatif.
Beragam kegiatan dilakukan di pesantren Ki Santri. Banyaknya kegiatan membuat santri sibuk dengan aktivitas positif. Disamping pendidikan agama yang diberikan, pengasuh pesantren memberikan kegiatan:
1.      Latihan tenaga dalam
2.      Pendidikan Ketrampilan
Proses pendidikan agama ini merupakan proses panjang yang harus dilalui oleh santri, sehingga mampu memahami ajaran agama Islam dengan benar dan mampu mengamalkannya dalam kehidupan. Masih banyak anak-anak yang memiliki berbagai masalah bahkan terjerat dalam lembah hitam seperti terjerumus dalam penggunaan narkoba, miras, pencurian, perampokan, dll di lingkungan sekitar kita. Permasalahan kenakalan remaja menjadi tanggungjawab bersama. Santri yang tidak lagi bermukim di pesantren, butuh pengawalan intensif untuk tetap didukung dalam perkembangannya.
B.     Saran
Berdasarkan beberapa kesimpulan diatas, terkait dengan model pendidikan agama di pondok pesantren Ki Santri dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut:
1.      Pendidikan merupakan hak bagi setiap manusia. Pendidikan agama menjadi sangat urgen, mengingat semakin menjamurnya kenakalan remaja dan tindak kriminal. Pelaku kejahatan juga memiliki kesempatan untuk berubah menjadi baik, maka pendidikan agama menjadi salah satu strategi untuk mengentaskan problematika masyarakat tersebut.
2.      Model pendidikan agama yang diterapkan harus dikolaborasikan dengan beragam ilmu pengetahuan lain. Hal ini akan memperkuat dan memperkaya khazanah keilmuan santri. Pola didik yang menghargai potensi santri penting untuk diperhatikan. sebab akan berpengaruh terhadap proses pendidikan santri.
3.      Para pendidik, utamanya di pondok pesantren hendaknya turut mempelopori pentingnya memberikan pendidikan agama untuk anak-anak yang memiliki latar belakang negatif.
C.     Penutup
Dengan memanjatkan puji syukur alkhamdulillah, akhirnya dapat diselesaikan skripsi ini, tentunya dengan segala kekurangan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang membangun dari pembaca menjadi harapan penulis.
Penulis berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bahi penulis dan pembaca pada umumnya. Amin.

0 komentar:

Post a Comment

 
MALIKHAH SAN © 2012 | Edited Designed by Kurungan Celotehan