Oleh, Malikhah*
135 tahun silam tepatnya tanggal 21 April 1879, lahir seorang perempuan
bernama Kartini. Dalam catatan sejarah, kelahiran pejuang emansipasi perempuan ini
diperingati sebagai hari peringatan Nasional. Dalam kamus bahasa Indonesia,
emansipasi berarti persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat
seperti persamaan hak kaum perempuan dengan kaum pria. Mematikan suatu bangsa
tidak harus dengan senjata, cukup mematikan sejarahnya. Perjuangan Kartini
hingga meninggalnya Kartini secara mendadak patut untuk dibongkar. Peringatan
hari Kartini bukan hanya bersifavt ceremonial, namun sebagai generasi muda
patut mengetahui sejarah kehidupan Kartini tanpa adanya manipulasi penulisan
sejarah.
Ada hal menarik yang patut dibongkar dalam sejarah Kartini, yakni
kematian perempuan legendaris ini. “Kartini Mati Dibunuh” karya Efatino
Febriana menjadi salah satu buku yang berusaha membongkar sejarah kehidupan
Kartini hingga kematian Kartini yang misterius.
Dalam buku “Kartini Mati Dibunuh”, dijelaskan Kartini lahir dari
pasangan R.M.A.A Sosroningrat dan M.A Ngasirah. Semenjak ayahnya menjadi
bupati, ayah Kartini menikah kembali dengan Raden Ajeng Woerjan, keturunan
langsung Raja Madura. Sebab, peraturan saat itu seorang bupati diharuskan
menikah dengan keturunan bangsawan, sedang ibu Kartini bukan keturunan
bangsawan.
Lahir dari keluarga yang cerdas, membuat Kartini tumbuh menjadi
anak yang cerdas. Kartini bahkan fasih dalam menggunakan bahasa Belanda. Dalam
berbagai bidang studi Kartini memang menguasai, namun Kartini enggan untuk
membaca al Quran. Bukan tanpa alasan, ketidakmampuan gurunya dalam menjawab
beragam pertanyaan Kartini tentang al Qur’an membuat Kartini enggan untuk
membaca al Qur’an.
Europese Lagere School
merupakan tempat Kartini menimba ilmu. Pasca lulus dari sekolah tersebut,
Kartini tidak bisa melanjutkan sekolah. Kartini hidup dalam lingkungan yang
senantiasa memegang teguh adat istiadat setempat. Meskipun ayah Kartini tidak
diskriminatif, namun dalam hal kebebasan anak perempuan dibatasi. Oleh sebab
itu, pasca lulus sekolah Kartini harus menjalani pingitan.
Kebebasan perempuan saat ini untuk mengenyam pendidikan memang tak
seperti dahulu. Meskipun Kartini dalam pingitan, namun ia sering berinteraksi
dengan kawan-kawannya melalui surat. Estelle Zeehadelaar yang sering dikenal
dengan nama Stella merupakan kawan pena Kartini. Kepada Stella itulah Kartini
berbagi pengalaman hidup dan bertukar pikiran melalui surat. Kemahiran Kartini
dalam berbahasa Belanda membuat komunikasi keduanya semakin lancar.
Kemerdekaan Kartini bisa jadi terbatasi oleh peraturan ayahnya.
Namun, tidak untuk kebebasan berpikir Kartini. Korespondensi Kartini dengan
Stella membuat jejaring Kartini semakin luas. Hingga banyak orang-orang Belanda
yang ingin menjalin pertemanan dengan Kartini hanya untuk memandulkan pemikiran
Kartini. Pemikiran Kartini yang banyak berisi kritikan membuat banyak
orang-orang Belanda tidak suka dengannya.
Pergolakan pemikiran pun dialami oleh Kartini. Salah satu pembahasan
dalam buku “Kartini Mati Dibunuh” menjelaskan bahwa poligami menjadi salah satu
bentuk pergolakan pemikiran Kartini. Betapa perihnya seorang wanita yang
dipoligami, membuat Kartini geram dan membenci poligami, namun disisi lain
Kartini harus berhadapan dengan ayahnya yang juga berpoligami. Tentunya Kartini
tidak dapat membenci ayahnya meskipun ayahnya melakukan poligami. Terlebih
ketika Kartini dijodohkan dengan Djojoadiningrat yang telah memiliki tiga
istri. Kebencian Kartini akan poligami justru mengharuskan Kartini menghadapi
kenyataan bahwa Kartini juga menjadi korban poligami. Setelah Kartini menikah,
Kartini mendirikan sebuah sekolah Kartini di Rembang.
Hakekat Emansipasi Perempuan
Emansipasi perempuan yang digagas oleh Kartini pada hakekatnya
tidak mengajak perempuan harus keluar berkarier dan menjadi pesaing laki-laki
diberbagai lapangan kehidupan. Lebih dari itu, Kartini hendak mengajak
perempuan agar lebih cakap melakukan kewajibannya, yakni menjadi ibu, pendidik
manusia yang pertama.
Melalui perempuan-perempuan inilah akan lahir anak-anak terdidik.
Lantas, tanpa adanya pendidikan bagi perempuan, tidak mungkin lahir dan tumbuh
anak-anak berpendidikan. Dari perempuan inilah, gerbang awal untuk menjadikan
seorang anak menjadi lebih baik melalui pendidikan. Sayangnya, perjuangan
emansipasi perempuan yang dilakukan Kartini terhenti dengan meninggalnya
Kartini.
Dalam buku “Kartini Mati Dibunuh” ini digambarkan bagaimana kondisi
Kartini setelah melahirkan sangat sehat. Menurut Dr. Van Ravestyan, kondisi
Kartini sama sekali tidak mengkhawatirkan. Saat Dr. Van Ravestyan hendak
pulang, Kartini dan Dr. Van Ravestyan meminum anggur sebagai tanda perpisahan.
Pasca minum angur, perut Kartini mengalami sakit hebat hingga kondisinya
terpuruk. Tidak selang beberapa lama, akhirnya Kartini menghembuskan nafas
terakhir. Kematian Kartini yang sangat cepat dan mengejutkan ini tentu saja
menimbulkan beragam spekulasi. Terlebih pihak keluarga tidak menyelidiki
penyebab kematiannya. Prinsip mereka adalah “Laat de doden met rust” atau
biarkan yang meninggal jangan diganggu.
Meski telah tiada, karya Kartini mampu menginspirasi perempuan
Indonesia. Kartini terinspirasi dari penjelasan surat Al Baqarah ayat 257. Dari
ayat ini, Kartini merasakan perubahan dirinya dari pemikiran jahiliyah kepada
pemikiran hidayah. Dalam suratnya sebelum wafat, Kartini banyak mengulang kata “Dari
Gelap kepada Cahaya” atau dalam bahasa Belanda “Door Duisternis tot Litch”.
Kemudian saat diterjemahkan oleh Armijn Pane, “Door Duisternis tot Litch”
diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Kalimat ini sedikit demi
sedikit menghilangkan makna yang dalam, karena diambil Kartini dari
pemahamannya akan ayat al Quran, menjadi sesuatu yang puitis namun tidak
memiliki arti ruhhiyah.
Meski telah tiada, perjuangan Kartini tetap mengakar hingga kini.
Buku Habis Gelap Terbitlah Terang menjadi bukti sejarah akan pemikiran Kartini
tempo dulu. Perjuangan emansipasi perempuan tetap harus dilanjut, agar
perempuan di Indonesia menjadi perempuan cerdas dan hebat.
*Pimpinan
Umum LPM Edukasi