Oleh, Malikhah
Negara agama atau pemerintah agama
mungkin tidak asing disebut untuk sebuah negara. Definisi umum sebuah negara
agama biasanya menfokuskan pada beberapa karakteristik dan fungsi yang
digariskan oleh model sistem politik. Hal ini biasanya dihubungkan dengan
karakteristik individual, seperti seorang gubernur mesti berasal dari agama
atau kelas tertentu. Orang juga bisa mendefinisikan pemerintahan agama
berdasarkan keberpihakan pada sebuah agama tertentu. Konsekuensinya, sebuah negara agama akan
menggunakan kekuatan militer, politik, dan ekonominya untuk mempromosikan dan
memperkuat posisi para pengikut agama tersebut.[1]
Negara agama ataupun pemerintah agama pada hakekatnya bermuara pada satu
tujuan, yakni sebuah kekuasaan.
Membincang persoalan kekuasaan di
sebuah negara, tidak akan terlepas dari penguasa sebuah negara. Penguasa negara
atau sering dikenal dengan kata pemimpin negara, presiden, menjadi pusat
perhatian masyarakat luas karena pengaruhnya yang besar bagi negara. Berakar
dari politik sebagai alat untuk mencapai kekuasaan, penguasa mampu menduduki
jabatan tertentu. Seorang penguasa tentu memiliki misi tertentu yang menjadi
tujuan. Latar belakang seorang penguasa sebuah negara sangat mempengaruhi
potensi kekuasaan tersebut. Lebih spesifik, ideologi bahkan agama menjadi dua
faktor yang memiliki kekuatan maha dahsyat bagi sang penguasa.
Ahli politik zaman klasik seperti
Aristoteles dan Plato pada abad ke-18 dan 19 melihat prestasi politik diukur
dari sudut moral. Sedangkan pada masa modern sekarang ahli politik melihatnya
dari tingkat prestasi (performance level) yaitu seberapa besar
pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar masyarakat dan lingkungan
internasional. Pengaruh besar dalam lingkungan masyarakat meliputi berbagai
hal, diantaranya agama, ideologi, sosok, dan kekuasaan yang dimiliki.
Dale F. Eickleman said:
Islam is one of the basic bricks in
Ernest Gellner’s political thought, along with segmentation, psychoanalysis,
nationalism, Marxism, and the transition to the Enlightenment. In Gellner’s
words, any structure, any theory will do not because it’s true but because it
makes you notice that evidence goes against it or for it.[2]
Agama, pemimpin, dan kekuasaan
menjadi satu kesatuan yang menjadi bahan perbincangan, termasuk pada
tahun-tahun politik. Ketiganya akan selalu terkait dalam perbincangan politik. Agama
agaknya menjadi isu sensitif saat diperbincangkan dalam hal politik. Pasalnya,
ini merupakan sebuah keyakinan seseorang yang disadari atau tidak, saat ini
tengah banyak dimanfaatkan sebagian orang sebagai salah satu alat untuk
mencapai sebuah kekuasaan.
Menurut orang Jawa agama adalah ageing
ati atau dalam bahasa Indonesia berarti agama itu pakaian hati. Artinya
letak agama itu didalam hati. Menurut P. Bourdeau, agama merupakan suatu sistem
simbol yang dibentuk dan membentuk suatu sistem simbol yang dibentuk dan
membentuk suatu persetujuan bersama (consensus) bagi makna
lambang-lambang dan makna dunia ini.[3]
Dalam hal ini, agama menjadi sebuah
keyakinan yang dimiliki seseorang. Bukan tanpa alasan untuk menjadikan sebuah
agama menjadi keyakinan, tujuan akhir dalam kehidupan menjadi harapan setiap
orang. JB. Sudarmanto, dalam bukunya Agama dan Ideologi mengungkapkan
orang beragama mengharapkan dari religi suatu alasan yang membenarkan
keberadaannya atau eksistensinya, termasuk saat memegang kekuasaan tertentu.
Max Weber mengatakan, agama
memberikan legitimasi kekuasaan bagi kelompok penguasa dan orang yang dia
kuasai. Ia, memberi dimensi rohani/ adikodrati kepada lembaga-lembaga yang ada
dan memberi makna kepada tuntutan-tuntutan yang berubah-ubah.[4]
Ruh agama yang mampu memberikan kekuatan bagi adanya kekuasaan, menjadikan
agama seringkali dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan.
Kekuasaan yang berwujud politik itulah yang kini menghiasi berbagai sudut
masyarakat, terutama di Indonesia.
Lebih ekstreem, pengertian
agama yang ditawarkan oleh Karl Marx. Menurut Marx the religion
is the of opium of the people. Marxis
Radikal seperti Lenin menafsirkan agama sepenuhnya bersifat negatif. Agama
meninabobokkan, meracuni, dan melenakkan rakyat. Itu sebabnya Lenin menghendaki
penghancuran semua doktrin dan lembaga-lembaga keagamaan ketika ia berkuasa di
negaranya.
Kata-kata Marx apapun interpretasinya adalah
kritiknya terhadap agama. Menurut Marx, agama tidak menjadikan manusia menjadi
dirinya sendiri, melainkan menjadikan sesuatu yang berada diluar dirinya inilah
yang menyebabkan manusia dengan agama itu menjadi makhluk yang terasing (alienated)
dari dirinya sendiri, agama adalah sumber keterasingan manusia, kata Mark.
Begitu ekstreem-nya pandangan Marx akan sebuah agama pun tidak terlepas
dari kondisi disekelilingnya.
Menurut Murtadho Mutahhari, dalam “Masyarakat
dan Sejarah Kritik Islam atas Marksime dan Teori Lainnya (1787)”, Marx
berpendapat bahwa agama adalah perangkap yang dipasang kelas penguasa untuk
menjerat kelas proletar yang tertindas. Bila perbedaan kelas itu hilang, maka
agama dengan sendirinya akan lenyap, sebab pada saat itu perangkap (agama) itu
tidak dibutuhkan lagi. Pemikiran tentang agama oleh kelompok Marxis radikal ini
memang memandang agama dengan negatif. Namun, yang hendak disampaikan disini,
bahwa seorang penguasa mampu menghegemoni masyarakat dengan kebijakannya.
Menurut Aristoteles, politik
merupakan upaya yang ditempuh oleh warga negara dalam mewujudkan kebaikan
bersama. Bersamaan dengan ini, terdapat berbagai jenis politik yang muncul,
termasuk di Indonesia. Politik identitas tiba-tiba meruak pascareformasi. Persoalannya,
politik identitas tidak dibangun untuk memperkokoh ikatan komunal, tetapi
memunculkan fanatisme kelompok. Etnik dan agama pun menjadi sangat rentan.
Kekerasan atas nama agama, baik intraagama maupun antaragama, menjadi
pemandangan yang menyesakkan dada.
Dalam banyak kasus, toleransi
diantara pemeluk agama sangat rendah. Agama yang suci ternyata bisa memicu rasa
benci yang melahirkan kekerasan. Kita tidak ingin kata-kata filsuf dan
pakar-pakar psikologi agama William James (1842-1910) bahwa kesalehan menjadi
sebuah topeng dan kekuatan batin merupakan naluri primitif menjadi kenyataan di
negeri ini.
Politik dominasi dalam dikhotomi
mayoritas-minoritas menjadi "kekuasaan agama" yang hegemonik. Bukan
hanya tindakan intoleransi massa yang menonjol, kekerasan oleh negara juga
sulit dicegah. Padahal, seharusnya negara memproteksi semua elemen bangsa
sesuai dengan amanat konstitusi. Lagi-lagi agama membawa pengaruh maha dahsyat
dalam menciptakan sebuah kekuasaan yang diidam-idamkan.
Penguasa dan Kekuasaan
Richard Friedman berpendapat bahwa
jenis kekuasaan yang berasal dari penguasaan ilmu pengetahuan yang tinggi pada
dasarnya berbeda total dari jenis kekuasaan yang diperoleh karena menduduki
satu jabatan politis tertentu.
Dalam buku April Carter Otoritas
dan Demokrasi, terj. Sahat Simamora kekuasaan ilmu pengetahuan
didasarkan pada tradisi, kekuasaan jabatan didasarkan pada pengakuan
diperlakukannya kehadiran pemangku jabatan dan diterimanya aturan main serta
ketentuan memiliki seseorang untuk suatu jabatan.[5] Pengetahuan
juga memiliki aspek penting dalam mencapai sebuah kekuasaan. Begitu pula dengan
ideologi, kekuatan besar dalam menggalang sebuah dukungan.
Ideologi merupakan salah satu sarana
paling ampuh dalam menimbulkan diffuse support karena masyarakat
yakin bahwa penguasa menganut ideologi yang sama dengan mereka dan penguasa
bertindak sesuai dengan ideologi itu maka kepatuhan dapat dengan mudah
ditimbulkan.
Konsep civil religion yang
dikemukakan oleh Jean Jacques Rousseau (1712-1778) dalam bukunya "The
Contract Sosial" mengungkapkan
Civil Religion is a profession of
faith which is purely civil and of which it is the soveriegn's function to
determine the articles, not strictly as religious dogma, but as sentiments of
sociability. Whithout which it is imposible to be either a good citizen or a
loyal subject".
Masalah yang dilihat Rousseau diatas,
bahwa perlu ada sesuatu yang menjadikan semua rakyat bersatu dan mempunyai
kepercayaan terhadap penguasa politik (soveriegn). Sesuatu itu disamakan
dengan ideologi. Rousseau berpendapat bahwa civil religion dapat
menimbulkan kepatuhan yang kokoh dikalangan rakyat terhadap penguasa politik. Civil
religion telah hadir tanpa adanya paksaan layaknya dogma-dogma terdahulu,
inilah yang mampu menjadikan masyarakat menyematkan kepercayaan akan penguasa.
Agama dan Politik
Menurut Houtatrt, ada dua jembatan yang
menghubungkan agama dan politik yaitu ideologi yang menggambarkan keadaan masyarakat
yang ada (dapat dengan simbol yang bersifat religious), dan lembaga
agama yang membenarkan adanya berbagai sistem dalam masyarakat sehingga dapat menciptakan
ketertutupan dalam sistem itu.[6]
Agama memproyeksikan hubungan-hubungan kekuasaan yang ada ke dalam
kekuatan-kekuatan adikodrati atau dengan kata lain agama mensucikan hubungan
kekuasaan itu.[7]
Agama dapat memutlakkan sistem
kekuasaan yang relatif dengan sakralisasinya dan dengan membenarkan
pilihan-pilihan politiknya dalam tatanan sosial. Hal tersebut menggambarkan
adanya paksaan yang dapat dimasukkan oleh sistem religi dalam sistem politik
yang berwujud suatu etika. Disitulah letak hubungan antar religi dan politik.[8]
Lantas, ketika sebuah agama telah menjadi sebuah kekuatan dalam kekuasaan, ini
menunjukkan bahwa agama telah memiliki kekuasaan dalam kekuasaan sebuah negara.
Dalam pengantar yang disampaikan
Prof. John A. Titaley, Th. D dalam bukunya Tedi Kholiludin “Kuasa Negara atas
Agama” menyatakan bahwa politisasi agama merupakan upaya mempergunakan agama
sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu, baik dilakukan oleh
orang perorangan/ kelompok maupun institusi pendidikan tertentu. Ketika muncul
orang-orang dengan klaim kebenaran kehidupan, termasuk jawaban atas kerawanan
kehidupan manusia, maka dari situlah muncul peran agama dalam kehidupan
manusia. Karena itu, dapat dipahami kalau agama adalah sarana yang paling ampuh
untuk menguasai dan mengendalikan manusia, termasu untuk kepentingan tujuan
politik.[9]
Ibnu Khaldun mengatakan bahwa
peranan agama sangat besar dalam mendirikan negara yang besar. Menurutnya,
setiap negara yang luas daerah kekuasaannya, pasti didasari oleh agama yang
baik yang disiarkan oleh nabi (nubuwah) atau seruan kebenaran (da’watu
haqq).[10]
Machiavellian berpendapat bahwa
penguasa dapat saja membawa agama dan simbol-simbolnya ke ranah kekuasaan, namun
agama tidak dilihat sebagai sistem nilai dan moral, atau meminjam istilah
Berger semacam sacred canopy untuk meneguhan integritas individu maupun
komunal, melainkan lebih sebagai sebuah instrument penopang kekuasaan.[11]
Dalam buku "Islam and The
Foundation of Goverment (Al Islam wa Usul a-Hukm)”, Syeikh Ali Abdul al
Raziq (1888-1966 M) berusaha untuk membenarkan pemisahan agama dari otoritas
politik berdasarkan bukti-bukti agama. Dia berpendapat bahwa Muhammad tidak
bermaksud mendirikan sebuah negara politik di Madinah dan bahwa Islam tidak
mendukung timbulnya suatu sistem sosial tertentu.
Banyak pemikir Barat seperti Anthony
Black, mendukung pendapat yang mengatakan bahwa tujuan-tujuan Nabi bukan hanya
untuk membentuk identitas baru dengan menggantikan adat istiadat kesukuan kuno.
Beliau melaksanakan kekuasaan politik dan juga otoritas spiritual dan
kebudayaan.
Peranan agama dalam bidang politik
memang saat ini telah diakui oleh pemerintah. Agama merupakan sumber motivasi
dan inspirasi bagi para penganutnya masing-masing sebagai warga negara yang
bertanggungjawab menjatuhkan pilihannya kepada kekuatan politik yang ada, yang
semuanya telah menggunakan pancasila sebagai satu-satunya asas.[12]
Kekuatan politik yang berasal dari rakyatlah yang memiliki peranan utama.
Seperti dalam definisi Roma, otoritas politik berbeda dengan kekuatan politik. Ungkapan
Cicero disebut bahwa ‘Quum potestas inpopulo, auctoritas in senatu sit’ (kekuatan
berada ditangan rakyat, sedang otoritas terletak pada senat).[13]
Meski secara tersirat agama memiliki
pengaruh besar, masyarakat selayaknya lebih jeli dalam memilah-milah sosok
pemimpin. Bisa saja keyakinan atau kepercayaan yang sama akan agama tertentu
merupakan dasar pokok yang untuk memilih sosok pemimpin ideal, namun tetap
selektif. Hal ini pula yang harus didukung dengan para calon penguasa, yang
tidak lantas menggunakan agama sebagai alat dalam mencapai kekuasaan.
Sama halnya yang disampaikan Plato
dalam bukunya Republic bahwa yang layak menjadi pemegang kekuasaan ialah
orang pilihan yang dianggap terbaik dan yang paling unggul diantara semua orang
pilihan, yakni orang yang memiliki pengetahuan dan kebajikan yang sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Vaezi.
2006. Agama Politik: Nalar Politik Islam. Jakarta: Citra
Budiono, Kabul.
-. Teori dan Filsafat Ilmu Politik. Bandung: Alfabeta
Hall, John A. 1998.
The State of the Nation, Ernest Gellner and The Theory of Nationalism. Belanda:
Cambridge University Press
Kholiludin, Tedi. 2009. Kuasa
Negara Atas Agama. Semarang: RaSAIL
Simamora, terj.
Sahat. 1985. "April Carter" Otoritas dan Demokrasi. Jakarta:
CV. Rajawali
Sudarmanto,
JB. 1987. Agama dan Ideologi. Yogyakarta:
Kanisius
Utama Maliki,
Zainuddin. 2004. Agama Priyayi, Makna Agama Ditangan Penguasa. Yogyakarta:
Pustaka Marwa
Zainudin, A.
Rahman. -. Kekuasaan Politik Ibnu Khaldun. Jakarta: PT. Pustaka
Malikhah- Lahir
di Kendal, 28 Oktober 1991 bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda. Jenjang
Pendidikan: SD N 01 Sukorejo (1998-2004), SMP N 01 Sukorejo (2004-2007), SMK N
02 Temanggung (2007-2010) dan S1 di IAIN Walisongo Semarang jurusan Pendidikan
Agama Islam angkatan tahun 2010. Aktif di LPM Edukasi sebagai Pimpinan Umum LPM
Edukasi periode 2013-2014 sekaligus penulis di Jurnal LPM Edukasi. Mentri Dalam
Negeri BEMF Tarbiyah (2012-2013), Direktur SRIKANDI, dan Direktur Lembaga Kajian
dan Penerbitan (LKaP) PMII Rayon Tarbiyah Komisariat Walisongo Semarang periode
2012-2013.
[1] Ahmad Vaezi, Agama
Politik: Nalar Politik Islam, (Jakarta: Citra, 2006), hlm. 7-9
[2] John A. Hall, The
State of the Nation, Ernest Gellner and The Theory of Nationalism, (Belanda:
Cambridge University Press, 1998), hlm. 258
[3] JB.
Sudarmanto, Agama dan Ideologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 15
[4] JB.
Sudarmanto, hlm. 18
[5] "April
Carter" Otoritas dan Demokrasi, terj. Sahat Simamora, (Jakarta: 1985,
CV. Rajawali), hlm. XVIII-XIX
[6]
JB. Sudarmanto,
hlm. 21
[7]
JB. Sudarmanto,
hlm. 27
[8]
JB. Sudarmanto,
hlm. 27-28
[9] Tedi
Kholiludin, Kuasa Negara Atas Agama, (Semarang: RaSAIL, 2009), hlm. XI-XII
[10]
A. Rahman
Zainudin, Kekuasaan Politik Ibnu Khaldun, (Jakarta: PT. Pustaka
Utama,-), hlm. 164-165
[11] Zainuddin
Maliki, Agama Priyayi, Makna Agama Ditangan Penguasa, (Yogyakarta:
Pustaka Marwa, 2004), hlm. 39
[12]
JB. Sudarmanto,
hlm. 56
[13] Kabul Budiono,
Teori dan Filsafat Ilmu Politik, (Bandung: Alfabeta, -), hlm. 150-152
0 komentar:
Post a Comment