*Oleh, Malikhah
Kekerasan di Indonesia menjadi isu hangat yang menjadi perbincangan
media massa. Beragam kekerasan yang terjadi semisal kekerasan antar warga
negara, antar agama, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, dan
kekerasan fisik yang lain. Kekerasan dalam hal ini selalu mendapatkan perhatian
di depan hukum. Pelaku kekerasan dapat dihukum sesuai dengan tingkat tindakan
yang dilakukan. Rendahnya moral seseorang, menumbuh suburkan kekerasan di
Indonesia. Jelas, degradasi moral semakin menjadi musuh besar di bumi pertiwi.
Kekerasan diatas,
merupakan simbolisasi pelanggaran Hak Asasi Manusi (HAM). Berbagai kasus pelanggaran HAM semakin tumbuh
subur. Para aktivis HAM juga turut aktif dalam menangani kasus pelanggaran
tersebut. Namun, berbanding terbalik dengan adanya kekerasan simbolik yang
kurang mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan.
Menurut teorinya
Pierre Bourdieu, seorang sosiolog asal Prancis mengatakan bahwa kekerasan
simbolik merupakan mekanisme kekerasan yang dilakukan oleh kelas dominan
(biasanya kelas borjuis) terhadap kelas proletar dalam bentuk non fisik.
Artinya, kekerasan simbolik dilakukan secara perlahan namun pasti. Hal ini
tidak lain untuk melanggengkan sebuah kekuasaan, kekerasan simbolik menjadi
salah satu jalan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok penguasa (golongan
dominan).
Sektor pendidikan
menjadi salah satu sasaran empuk adanya kekerasan simbolik ini. Secara tidak
sadar, mereka terutama kelas proletar telah mengalami kekerasan simbolik.
Adanya pembagian kelas sosial, terkadang membuat sekat dalam bersosialisasi
antar siswa. Kekerasan simbolik yang bertujuan melanggengkan kekuasaan ini
tentunya selalu ingin berkuasa. Dalam teorinya Ivan Illich, dalam dunia
pendidikan, kelas dominan mempertahankan posisinya sebagai penguasa melalui hidden
curriculum. Sekolah mempengaruhi sikap dan kebiasaan siswa dengan
menggunakan budaya kelas dominan. Siswa dari latar belakang kelas bawah/
kalangan menengah kebawah mengembangkan cara bicara dan bertindak seperti yang
biasa dilakukan oleh kelas dominan/ golongan atas. Hal ini disebabkan karena
adanya “modal” yang berbeda. Modal dalam hal ini seperti sumber daya manusia
dari golongan atas yang telah mendapatkan beragam bekal materi melalui bimbingan
belajar (bimbel). Selain itu, modal disini juga diartikan sebagai akses,
artinya akses yang diperoleh kalangan atas lengkap dan mudah diakses. Imbasnya,
di sekolah-sekolah terkadang guru menyampaikan pelajaran tidak secara penuh,
karena menganggap pelajaran mampu diakses diluar kelas melalui bimbel.
Kekerasan simbolik
lain yang sering terjadi dilakukan dengan dua cara. Pertama, eufenisme,
artinya kekerasan ini dilakukan secara halus bahkan tidak nampak sama sekali.
Sehingga banyak kalangan yang tidak menyadari jika dirinya telah mengalami
kekerasan. Eufinisme dapat berupa kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, sopan
santun, dan lain sebagainya. Kekerasan ini dilakukan sebagai doktrinasi
terhadap suatu golongan untuk patuh dan menuruti segala perintah. Kedua, mekanisme
sensorisasi yang menjadikan kekerasan simbolik nampak sebagai bentuk sebuah
pelestarian semua bentuk nilai yang dianggap sebagai “moral kehormatan.” Yang
dipertentangkan dengan “moral yang rendah”. Akibatnya terjadi penilaian
terhadap seseorang, semisal baik buruk, benar salah. Kekerasan yang jarang
diperbincangkan ini menjadi refleksi bersama. Kekerasan dalam bentuk apapun
harus harusnya tidak terjadi hanya demi pelanggengan kekuasaan. Terlebih
memilih sektor pendidikan menjadi sasaran empuk dalam menciptakan sebuah
kekerasan.
*Mahasiswi
Fakultas Tarbiyah
Direktur
Lembaga Kajian dan Penerbitan
0 komentar:
Post a Comment