Semarang-Lembaga
Kajian dan Penerbitan bekerja sama dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan
Agama Islam (HMJ PAI) menggelar diskusi publik (29/3) di Auditorium kampu 1
IAIN Walisongo Semarang. Inklusifitas beragama dalam perspektif aliran agama
Islam di Indonesia ini menjadi topik dalam diskusi publik ini. Turut hadir
dalam acara tersebut yakni dari ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Lembaga
Dakwah Islam Indonesia (LDII), dan juga guru besar IAIN Walisongo
Semarang.
Inklusifitas
menjadi hal penting dalam bersikap. Singgih Saptadi dari HTI mengungkapkan
bahwa munculnya konflik di Indonesia ini diakibatkan oleh adanya perbedaan.
“Boleh anggap benar, namun yang lain juga boleh benar”, tutur Saptadi. Dalam
perspektif HTI, bahwa inklusifitas inklusifitas ini sudah tidak relevan untuk
dilakukan. Menurutnya, karena HTI bertujuan untk mengembalikan kehidupan Islam,
maka Khilafah Islamiah lah yang mampu menjadi solusi adanya konflik yang
terjadi. Khilafah Islamiah disini merupakan kepemimpinan tunggal yang
didasarkan atas syariat Islam. “Jika Khilafah Islamiah tidak ada, maka Islam
tidak ada, se ekstrim itukah HTI?”, tanya Muhammad dari kelompok diskusi
Ahlussunnah Wal Jamaah. Menanggapi hal tersebut, Saptadi mengklarifikasi
bahwasanya pernyataan yang dimaksud itu adalah Islam tidak akan sempurna tanpa
Khilafah Islamiah, bukan tidak ada Islam.
Berbeda dengan
sudut pandang HTI yang menganggap bahwa sikap inklusif tidak diperlukan. LDII
justru mengakui pentingnya inklusifitas dalam beragama. “Untuk menyikapi
permasalahan perubahan yang terjadi, LDII mempertimbangkan lingkungan strategis
dalam masyarakat”, ungkap Singgih Tri Sulistyono selaku ketua LDII Jawa Tengah.
Dalam penyampaiannya, dia juga menjelaskan bahwa sebagai warga Indonesia perlu
mengakui keragaman yang ada di Indonesia. “Menghormati adanya perbedaan
merupakan sunatullah”, tandas Singgih yang juga dosen di Universitas
Diponegoro.
Budaya
yang ada dalam masing-masing aliran agama Islam pun beragam. “Apakah benar kalo
orang non LDII sholat di masjid LDII lantainya dibersihkan?”, tanya M. Ulin Nuha, mahasiswa PAI. Menanggapi hal
tersebut, Singgih menyatakan bahwa itu merupakan budaya orang LDII masa lalu,
untuk saat ini tidak semuanya menerapkan hal tersebut. “Untuk menjaga kesucian,
maka kami cenderung berhati-hati untuk menjaga kebersihan, jadi wajar jika
terkadang harus dibersihkan”, jelasnya.
Agama menjadi unsur
penting dalam kehidupan. “Agama punya kekuatan yang supra”, tutur Suparman,
Guru Besar IAIN WS. Menurutnya, kekuatan yang maha dahsyat ini dapat dirasakan
sangat mendalam, pengaruhnya sangat kuat bagi kehidupan masyarakat. “Tidak akan
muncul kedamaian tanpa dialog antar umat beragama”, pungkas Suparman.
Lap.
Malikhah, Novita Nur Inayah