Kebijakan yang Tidak Konstruktif


Rancangan Undang-undang Pendidikan Tinggi atau RUU PT sebentar lagi akan dilegitimasi oleh pemerintah. Ditengah gencarnya pro dan kontra yang membelit, sepertinya pemerintah tetap akan mengesahkan RUU tersebut. Perubahan RUU yang awalnya terdiri dari 102 pasal, data terakhir menjadi 59 pasal (Kompas, Selasa, 10 Juli 2012). Perdebatan yang terjadi tentunya tidak hanya permasalahan jumlah pasal yang semakin mengkerut, namun substansi dari isi RUU tersebut lah yang menjadi topik hangat diberbagai media.
Terdapat banyak pasal-pasal didalam RUU PT yang masih bertolak belakang dengan pasal-pasal yang telah digulirkan. Pemerintah terlihat tidak konsisten dengan isi pasal yang tercantum dalam butir-butir ayatnya. Beberapa kejanggalan yang disajikan dalan RUU PT nampak begitu jelas. Berikut pasal-pasal yang memperlihatkan ketidakkonsistenan pemerintah,
Pasal 9, yeng terdiri dari 4 ayat (sebelumnya pasal 10 di RUU PT versi 4 April 2012)
Ayat 2: kebebasan mimbar akademik merupakan wewenang profesor dan/atau dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah untuk menyatakan secara terbuka dan bertanggungjawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya.
Ayat 4: kketentuan lebih lanjut tentang sivitas akademika, rumpun, dan cabang ilmu sebagaimana dimaksud pada ayat 2, diatur dengan Peraturan Mentri.
Catatan: Rumpun ilmu semestinya diserahkan ke perguruan tinggi yang dianggap lebih tahu, bukan diserahkan negara.
Pasal 16, yang terdiri dari 3 ayat (sebelumnya pasal 34 di RUU PT versi 4 April 2012)
Ayat 1: Kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh setiap Perguruan Tinggi dengan mengacu Standar Nasional Pendidikan Tinggi untuk setiap program studi yang mencakup pengembangan kecerdasan, intelektual, akhlak mulia, dan ketrampilan.
Ayat 3: ketentuan lebih lanjut mengenai kurikulum diatur dalan Peraturan Mentri
Catatan: Seharusnya kurikulum adalah wewenang perguruan tinggi.
Pasal 20, yang terdiri dari 6 ayat (sebelumnya Pasal 45 di RUU PT versi 4 April 2012)
Ayat 1: Perguruan Tinggi menyelenggarakan penelitian untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saing bangsa.
Ayat 6: Ketentuan lebih lanjut mengenai penelitian, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kerja sama antar Perguruan Tinggi dan antara Perguruan Tinggi dengan dunia usaha dan dunia industri dalam bidang penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan pendayagunaan Perguruan Tinggi sebagai pusat penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah.
Catatan: jika penelitian diatur lewat peraturan menteri, dikhawatirkan independensi perguruan tinggi akan terkikis.
Pasal 32, yang terdiri dari 3 ayat (sebelumnya pasal 66 di RUU PT versi 4 April 2012)
Ayat 1: Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma.
Ayat 2: Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan dasar dn tujuan serta kemampuan Perguruan Tinggi.
Ayat 3: Dasar dan tujuan serta kemampuan Perguruan Tinggi untuk melaksanakan otonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dievaluasi oleh Mentri.
Catatan: Dinilai bertentangan antara ayat (1) yang menyebut Perguruan Tinggi memiliki otonomi, tetapi di ayat (3) otonomi malah dievaluasi oleh Mentri. (Kompas, Selasa, 10 Juli 2012)
Seperti yang dilangsir dari Okezone, Rabu, 4 Juli 2012, didalam pasal 51 ayat 1 yang mengatakan bahwasanya “Perguruan tinggi asing dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Pasal tersebut sebenarnya baik, hanya saja melihat situasi dan kondisi pendidikan yang ada di Indonesia tentu hal tersebut menjadi momok tersendiri. Pasal tersebut jelas tidak berpihak pada peningkatan kualitas pendidikan dalam negeri, sebab dengan adanya pasal tersebut, pendidikan dalam negeri semakin lama akan semakin tergerus oleh pendidikan asing.
Saat ini, pendidikan Indonesia pun semakin terlihat geliatnya untuk memasukkan mata pelajaran asing sebagai mata pelajaran utama. Banyak pelajar Indonesia lebih bangga menguasai bahasa asing dibanding bahasa daerah. Tentunya, dengan adanya pasal ini menjadi ancaman tersendiri bagi pendidikan di Indonesia. Bisa saja, anak-anak Indonesia lebih senang berkuliah di PT asing, dibanding berkuliah di universitas milik negara sendiri. Selain itu, jika pasal tersebut benar disahkan, akan banyak tenaga asing yang mengajar didalam negeri. Lantas, bagaimana dengan tenaga pendidik di Indonesia? Yang disadari atau tidak, masih banyak pengangguran dari lulusan kependidikan.
Menilik pasal ini, ternyata perizinan untuk pendirian PT asing didalam negeri hanya melalui otoritas dari mentri. Menimbulkan kesan “skeptis” jika mentri memiliki hak prerogratif dalam memutuskan persoalan ini. Sebab, dimungkinkan akan terjadi diskriminatif dan berpihak pada pihak asing untuk mempercepat proses perizinan. Sebab, mentri tidak memiliki kontrol dari lembaga terkait.
Pemerintah perlu koreksi kembali terkait kebijakan yang akan dicanangkan. Rakyat tentunya sudah semakin geram dengan “ketidakkonsistenan” pemerintah dalam mengambil kebijakan. Banyak kebijakan yang tidak pro dengan masyarakat Indonesia. So, masih pantaskah mereka yang duduk dikursi panas, disebut dengan “Wakil Rakyat” ???

                                                                                                By, Cha_Cha
                                                                                                Rabu, 11 Juli 2012, 23.35

0 komentar:

Post a Comment

 
MALIKHAH SAN © 2012 | Edited Designed by Kurungan Celotehan