Cerpen

SUARA TERAKHIR Di penggantungan kotak-kotak
Terik itu menyengat di sekujur tubuh papah....
“Ambilkan segelas air wan...!!! “ pinta papah pada anaknya yang selalu membantunya bekerja
“Iya pah....” sahut Iwan...
Dengan wajah yang terlihat kelelahan papah tetap melanjutkan pekerjaannya. Kotak demi kotak ia sentuh dengan lembut. Rasa lelah tidak membuatnya mengeluh sedikitpun.
“Tuhan kapan kau merubah nasib kami???” batin Iwan sambil mengambilkan air...
“Tak usah kau menyesali nasib kita Wan!!!” ucap papah... Seakan dia tahu apa yang sedang aku pikirkan.
“Iya pah, aku hanya mengandai-andai saja...hehehe” jawab Iwan dengan senyum yang sedikit malu...
Matahari seakan berada diatas kepalaku... ku lihat jam menunjukkan pukul 12.00... tapi masih ratusan kotak yang belum kami selesaikan.
“Ayo Wan kita turun,, waktunya solat..!!” ajak papah
“Iya pah, satu kotak lagi baru kita turun” sahut Iwan dengan penuh semangat..
Hari ini kami hanya bekerja berdua, om Jefri yang selalu bikin tawa tidak bekerja, dia difonis mengidap peyaki kanker. Sungguh tragis, canda tawanya yang selalu menghiasi penggantung tempat biasa kita pijaki, satu minggu sudah ia tinggalkan. Om Joko yang lugu dan pendiam, hari inipun harus meninggalkan pekerjaannya. Anaknya baru saja jatuh dari motor yang baru dibelinya beberapa bulan yang lalu.
Setelah kami berdua menunaikan solat, papah mengajakku makan siang di emperan toko, tepat disebelah kiri tempat kami bekerja.
“Mau makan apa Wan??” tawar papah padaku
“Seperti biasanya aja pah” jawab Iwan sambil melihat lalu lalang jalanan yang hari itu tampak padat.
“Makanlah sesukamu Wan, hari ini kamu boleh makan sesukamu, makanlah yang banyak. Masih banyak kotak yang belum kita selesaikan Wan” suruh papah
“Iya pah” terang Iwan seperti tak begitu menghiraukan
“ayolah Wan makan segera, kita harus cepat naik lagi!!” desak papah pada Iwan
“ iya pah, aku pengen istirahat bentar, naeknya nanti aja pah!!” lanjut Iwan
Agak sedikit lemas Iwan menyantap makanan yang ada dihadapannya. Seakan tak ingin bangkit dari tempat duduknya. Tiba-tiba suara anak kecil menghampiri Iwan...
“uang kak” pinta anak kecil yang terlihat kusam dan tak bersendal
Iwan tak menghiraukan suara peminta-minta itu. Dia tetap melanjutkan makannya dengan cepat karena harus kembali naik untuk menyelesaikan pekerjaannya.
“uang kak!!! Uang kak!!! Uang kak!!!” seru anak itu dengan nada yang lebih lantang...
Tapi Iwan tetap saja tak menghiraukan. Papahnya yang sedang menikmati sepuntung rokoknya sampingnya pun juga tak menghiraukannya. Mereka seperti tak mendengar suara apapun.
Anak kecil itupun menangis, tapi Iwan dan papahnya tetap tak menghiraukannya. Hingga anak itu keluar warung pun mereka berdua tetpa saja diam seakan tak mendengar jeritan sang anak.
“finish!!!” ucap Iwan sambil mengambil es jeruk yang berasa manis seakan gula yang dicampurkan terlalu banyak..
“ayo kita naik lagi Wan!!” ajak papah
“siap bozzzz!!!” jawab Iwan dengan penuh semangat karena perutnya mulai kencang..
“Barapa lek?” tanya papah pada sang penjual
“ 50 ribu kang..sekalian ma utangmu yang kemarin” jawab si penjual sambil melayani pembeli yang lain
Memang papah sering berhutang kala makan tak punya uang, jadi kadang tagihannya pun menggunung.
Kami mulai melangkahkan tapak demi tapak sampai pada penggantung. Kamipun mulai naik perlahan. “Papah hampir 10 tahun Wan bergantung dengan pekerjaan ini. Dulu saat dirimu kecil, papah sering ajak kamu naik. Meskipun tinggi, tapi kamu tidak pernah takut untuk ikut naik Wan.” Kenang papah sambil menggandeng tanganku
“Papah sebenarnya tidak mau kamu mengikuti jejak papah Wan, papah ingin kamu bisa bekerja lebih baik dari papah” lanjut beliau dengan perasaan menyesal..
“Aku seneng pah bisa bekerja disini pah, meskipun disorot oleh teriknya matahari, asalkan bisa membantu papah itu merupakan satu kebahagiaan yang tak ternilai pah” jawabnya tanpa ada beban sedikitpun..
Setelah beberapa jam berlalu, Iwan terlihat pucat. Papahnya yang sibuk dengan kotak-kotak yang ada didepannya tak mengetahui jika anaknya mulai kelelahan. Iwan tetap saja melanjutkan pekerjaannya tanpa menghiraukan kondisi tubuhnya.
“Papaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhh!!!!!!!” teriak Iwan dengan lantang...
Namun sang papah tak mendengar teriakan yang begitu kerasnya. Papahnya tetap melanjutkan pekerjaannya. Diapun tidak mendengar ada suara heboh dibawah. Papah tetap saja asyik membersihkan kaca kotak-kotak yang sudah berada di lantai 9.
“Wan, ambilkan air sebentar, papah haus!!” pinta papah...
Tetap saja papah belum menyadari bahwa Iwan sudah tak berada didekatnya.
“Iwan???” panggil papah sambil menoleh dengan rasa kaget
Dia baru menyadari anaknya terjatuh. Suasanapun semakin memilukan ketika melihat sang anak terbujur kaku. Tangisan yang sangat memilukan dari papah menghiasi gedung tempat mereka bekerja..
Selang beberapa minggu, papah teringat...
” Anak peminta-minta di warung itu???”

0 komentar:

Post a Comment

 
MALIKHAH SAN © 2012 | Edited Designed by Kurungan Celotehan