“Kita itu harus manut sama mertua nduk...” kata ibuku
mengawali pagi itu .. Mertua sama halnya orang tua kita sendiri. Kita akan
memiliki mertua kala kita telah berumah tangga. Banyak orang mengatakan,
pilihlah jodoh yang baik, baik segi bobot, bibit, dan bebet. Pepatah jawa itu
bak mengakar dalam aliran darah masing-masing individu. Begitu pun denganku.
Menjadi momok tersendiri kala kita telah cocok dengan pasangan kita mengenai
persoalan mertua. Adakah jaminan, bahwasanya mulut manis sang orang tua
pasangan kita nantinya bisa bertahan selamanya? Entahlah ...
“Apa mesti nurut bu?” Sahutku dengan membawa sebilah
pisau
“Setidaknya begitu nak, segalak apapun dia, itu tetap
orang tua mu juga”, jawabnya
Telah
banyak ku dengar para mertua yang selalu geram terhadap menantunya. Terkadang
membuat kupingku semakin tebal dan merah mendengarnya, dan seakan ingin ku
lempar pisau yang ku pegang ini.
“Lantas bagaimana dengan para mertua yang tak pernah adil
dengan para menantunya bu?”, tanyaku kembali dengan dipenuhi rasa emosi..
Dengan santainya ibu menjawab, “adil itu kan relatif nak”
Adil,
merupakan satu kata yang memiliki arti menempatkan segala sesuatu sesuai dengan
porsinya. Yah, itu menurut definisi yang ku buat dengan berbagai perenungan
panjang hingga tak doyan makan apalagi tidur. “Menantu pun memiliki porsi yang
sama tentunya dalam roda kehidupan dalam satu keluarga. Lantas apa yang
membedakan?”, Gumam ku dalam otak ...
Ku coba pertegas jawaban ibu yang memang belum jelas alur
penjelasannya padaku. “Relatif yang bagaimana yang ibu maksudkan? Bukankan
semua menantu memiliki hak yang sama? Begitupun dengan kewajiban yang harus
mereka lakukan”, tanyaku
“Setiap orang itu kan memiliki kebutuhan yang berbeda
nak, apa harus disamakan? Artinya, ketika menantu satu memiliki anak, dan yang
satu tak memiliki anak, apakah mertua harus membelikan susu kepada kedua
menantunya?”, sahut ibu dengan senyum ala tomat merah
Akupun semakin tak mengerti dengan jawaban ibu, yang ku
rasa semakin mempersulit alurku menuju sebuah arti penting antara menantu dan
mertua.
Ahhhh.. ku iyakan saja kata ibu...
***
Masih ku ingat percekcokan yang ibu ceritakan malam itu.
Nggak penting si buat didengar olehku yang masih bau kencur ini. Acch... itu
kan dulu.. sekarang mah udah bau jahe.. wangi aromanya merebak sampai samudra
Pasifik sana.
Percekcokan
dua menantu yang diperlakukan tak adil kata ibuku. Lantas?? Adil yang ibu
katakan tadi?? Semuanya hanya gurauan ibu ... masih banyak ketidakadilan di
negeri ini.
Pencuri sandal jepit pun harus di hukum bertahun-tahun
hanya gara-gara ia orang tak punya. Begitu pula dengan pencuri pisang yang
harus menanggung beban di penjara selama bertahun-tahun pula. Berbanding
terbalik dengan para elit politik yang hanya berkipas uang segudang tembakau
yang hanya merasakan manisnya hidup dipenjara hanya sesaat saja. Itulah bukti
keadilan yang tidak akan pernah adil di tanah bumi pertiwi kita ini.
Sebutlah Silvi dan Siva. Sama-sama sebagai seorang
menantu yang tinggal seatap dengan mertuanya. Selalu saja begitu, cinta itu
memang indah hanya diawal saja. Paska itu, tinggal puing-puing cinta yang bisa
dirasa oleh seorang insan manusia. Tapi, bukan masalah cinta yang menjadi hal
menarik untuk dikata. Cinta terlalu nisbi untuk sekedar diucap, meskipun akan
selalu indah jika kita rasa. Cinta dua insan manusia yang saling mencinta dan
kelak hidup bersama dalam sebuah ikatan kebersamaan yang nantinya akan
megarungi kehidupan di dunia nan megah ini. Dunia yang berhias melodi nan indah
untuk dirasa berdua, dan nantinya akan ada sang “Mertua”... Gubrak ...
“Mertua, Mertua, dan Mertua,,,,,”
Kata yang selalu menghantui ku kelak kala ku harus
bertemu dengannya. Pertanda mertua baik adalah ketika bulu tangan dan kaki kita
lebat, itu kata orang tua jaman Belanda. Katanya tempo dulu harus bertempur
melawan tentara Belanda, tempo sekarang justru harus bertempur melawan para
mertua-mertua ganas... benar begitu? Semakin seram saja membayangkan kelak
hidup bersama mertua...
Hidup tak selalu rata kayak bola mata mu dan hidung
manismu, selalu saja ada coba yang diberikan oleh sang Maha Kuasa. Yak... Yang
Kuasa ya Allah Ta’ala.. pastinya Dia lah maha segala-galanya, termasuk maha
pemberi .. Pemberi mertua yang baik hatinya .. Semoga ... “-,-”
Dasar wanita, mengkhayal kemana-mana ...
Percekcokan tempo kemarin, lantaran Silvi dan Siva tak
pernah diperlakukan adil oleh mertuanya. Ibuku bercerita, katanya Silvi sering
diperlakukan bak Ratu Nyi Roro Kidul .. wuih serem ... padahal tak secantik Nyi
Roro Kidul .. dan kata ibu, Siva diperlakukan bak Nyi Blorong yang terkenal
manis itu lohhh ,,,
“Sedang apa nduk?” tanya Faiz suami Siva pada Siva dan
Siva pun menjawab, “Siva lagi nyuci baju Siva dan keluarga mas”
“Baju seluruh keluarga??”, tanya Faiz dengan nada tinggi
bak menara Eiffel yang hampir tak mampu mencapai langit ke delapan, karna hanya
mampu menembus langit ke tujuh...
“Nggeh ms”, jawab Siva lugu.. selugu Nyi Blorong yang
katanya manis, semanis donat yang dijual di emperan alun-alun Sukorejo .. Hah..
Sukorejo istimewa ..
Berkutat kembali dengan mertua yang tak pernah adil pada
Siva.. Akibat ketidakadilan mertua pada dirinya, mengaharuskan dia menapaki
sejengkal demi sejengkal seluruh pekerjaan rumahnya. Pekerjaan rumah yang makin
hari makin menggunung, ditambah anak Siva dan Silvi yang baru merasakan
indahnya dunia. Tergambar jelas, berapa umur bayi-bayi mereka.
Siva dengan anggunnya tetap melanjutkan goyangan jarinya
mengucek seluruh baju milik keluarga.
“Vi...Silvi...Silvi...” teriak Faiz geram...
“Silvi lagi main ke Anis” jawab Hakim suami Silvi
Anis merupakan tetangga dekat mereka, rumahnya pun hanya
beberapa jengkal dari rumah mereka. Memang Silvi suka main ke rumah Anis, entah
bergosip ria, entah mengaji bersama, ataukan hanya sekedar membincang
permasalahan rumah tangga.
“Suruh pulang bojo mu yang tak tau diri itu...” semakin
ganas Faiz melontarkan kata bak Singa mo ngelahirin ..
Karna tak terima dengan kata-kata Faiz, Hakim pun
langsung menyusul istrinya untuk segera pulang.
***
Beberapa saat setelah semua pekerjaan beres, karna telah
diselesaikan oleh Siva, semua anggota keluarga pun dikumpulkan.
“Sekarang baik Siva maupun Silvi tidak ada yang boleh
maen kemana-mana, semuanya harus berada di rumah. Mau siang, malam kalian harus
tetap di rumah” tegas Si Tun mertua Silvi dan Siva.
Keduanya mengangguk-angguk seolah tak punya daya apa-apa
dihadapan mertua. Faiz dan Hakim yang berada disamping mereka, hanya bisa manut
pada fatwa sang ibu yang memiliki kuasa.
“Silvi harus membantu Siva mengerjakan semua pekerjaan
rumah”, kata si Tun sambil melototi keduanya.
Lantas??? Emang Sifa pembantu?? Kok Silvi haru membantu
Siva?? Logikanya??
Hmzzz ...::Ayo dipikir ::.. logikanya gimana?? Upzzz ..
kepleset ...
Memang si, si si Tun terkenal sebagai mertua yang pilih
kasih, terutama pada Silvi .. apa-apa mesti Silvi terlebih dahulu, baru kalo
yang nggak enak-enak dikasih ke Siva ...
“Huft, mertua macam apa itu?”, gumamku seraya
membayangkan empat atau lima tahun mendatang harus hidup bersama mertua ...
Penuh tanya dalam memori otakku yang hampir penuh dan
perlu di refresh kembali...
Kulanjutkan percakapan nan indah bersama ibunda tercinta,
, ,
“Hari ini masih terbayang-bayangi oleh mertua yang tak
tau siapa nantinya bu,,” celotehku sambil memotong segempal daging ...
“Tak perlu kau risaukan nak, nanti juga akan kau temukan
sosok mertua yang selalu menyayangimu. Kasih ibu sepanjang massa nak, seperti
kasih mertuamu kelak .. “ fatwa ibu yang sedikit membuatku tenang ..
Perasaan ibu positifistik banged dech,, jangan-jangan ..
Ibu titisan nya Auguste Comte ... wkwkwkkw ...
Entahlah .....