Oleh, Malikhah*
“Berharaplah, sebab harapan yang akan menjagamu tetap hidup.” Kepercayaan kepada harapan inilah yang akan membawa kita kepada sebuah impian besar yang patut kita wujudkan. Kepercayaan tentang harapan hanya satu contoh dari gejala yang mengindikasikan peran penting kepercayaan dalam hidup manusia. Berbagai gejala lain yang melibatkan kepercayaan seperti mitos, iman, bahkan ilmu pengetahuan, menunjukkan kemujaraban yang serupa, kepercayaan menjelma kenyataan, ide menjelma fakta. Patut kita optimis dengan masa depan bangsa kita, wajib percaya akan impian-impian “gila” kita, untuk bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya, potensial, beragam, dan semua itu dapat diberdayakan dengan baik. Dengan harapan dan impian yang besar, serta usaha yang pantang menyerah, maka akan membawa kita Indonesia ke arah yang dicita-citakan. Cita-cita bangsa Indonesia yang termaktub dalam undang-undang dasar 1945, yakni memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sungguh cita-cita yang memiliki makna filosofis yang mampu mewakili seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia. Cita-cita yang tidak hanya untuk wilayah domestik saja, melainkan mencakup seluruh dunia. Penggagas ide-ide besar ini, patut berbangga ketika cita-cita yang telah dirumuskan dan termaktub dalam undang-undang ini benar-benar tercapai.
Namun, perselisihan antar suku, ras, dan agama saat ini sedang menjadi isu-isu hangat yang memiliki ghiroh besar untuk dikumandangkan. Steakholder yang harusnya mampu menjadi peredam persengketaan yang terjadi, justru tenggelam dan tidak mampu memberikan jalan keluar yang terbaik. Solusi solutif yang dihasilkan terkadang tetap tidak mampu meredam perselisihan yang terjadi. Sedangkan, yang duduk ditampuk kepemimpinan ini, hanya mampu menjadi penonton setia tanpa ada tindakan tegas.
Kita harusnya optimis meskipun dalam kondisi krisis multidimensi. Krisis yang menggerogoti segala aspek kehidupan. Tidak hanya dalam bidang ekonomi, namun budaya, politik, serta sosial. Ketika semua itu tidak kita hadapi dengan kekuatan yang besar, maka untuk sekedar menyongsong hari esok pun kita tidak akan mampu. Kebingungan dan kegalauan akan nasib bangsa ke depan, sering kali membuat petinggi negara tidak punya arah yang jelas ketika harus memimpin negara ini. Imbasnya, masyarakat sebagai “penonton”, hanya akan menerima dampak negatif yang ditimbulkan dari hal tersebut.
Krisis ideologi, krisis yang jarang sekali disentuh oleh pemerintah dan masyarakat. Ideologi menempatkan individu, manusia yang lahir dari alam, sebagai subjek, sebagai pihak yang memiliki kesadaran akan tangggung jawab, sebab ia memiliki kebebasan, karena ia memiliki identitas yang berbeda dari yang lain sebagai suatu satuan otonom tersendiri yang seolah-olah lepas dari yang lain. Kebebasan subjek pada dasarnya adalah sebuah ilusi yang diciptakan ideologi agar ia merasa bertanggung jawab dan mendorong dirinya untuk melakukan serangkaian tindakan yang menghidupkan struktur yang ada sebelum ia lahir.
Perlu diketahui, kesepakatan untuk tetap mempertahankan bentuk negara kesatuan yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) didasari pertimbangan bahwa negara kesatuan adalah bentuk yang ditetapkan sejak awal berdirinya negara Indonesia dan dipandang paling tepat untuk mewadahi ide persatuan sebuah bangsa yang majemuk ditinjau dari berbagai latar belakang.
Bagi Althusser, kepercayaan tanpa disadari itulah yang dinamakan dengan ideologi. Kepercayaan yang dipoles sedemikian rupa sehingga tidak seperti kepercayaan. Citra ideal yang dikemas seperti fakta yang dipahami sebagai realitas kongkret. Masyarakat tanpa kelas, pembebasan manusia, kekayaan berlimpah, ketenangan batin karena bisa menerima kenyataan secara ikhlas, kebenaran secara universal hasil kerja keras menggunakan ilmu pengetahuan, kebaikan hati, dan kebahagiaan sebagai buah dari perilaku bermoral telah melenggang wajar dalam benak manusia.
Ditengah gegap gempitanya rakyat dalam menghadapi kemiskinan yang semakin merajalela, pemerintah justru mengambil kebijakan yang terkesan ugal-ugalan. Ketidakkonsistennya pemerintah dalam mengambil kebijakan terlihat jelas ketika pemerintah mengambil kebijakan tentang pembatasan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dialihgunakan kepada Bahan Bakar Gas (BBG). Ketika pembatasan BBM diwacanakan, sontak masyarakat brontak terhadap kebijakan tersebut, sehingga menuai protes dari berbagai pihak. Banyak pihak yang berpendapat bahwa langkah pemerintah tersebut tidak berdampak jangka panjang, sehingga beberapa pihak merespon bahwa alangkah baiknya jika BBM harganya dinaikkan sedikit demi sedikit agar konsumsi masyarakat juga tidak terlalu menurun. Selang beberapa waktu, pemerintah langsung mengambil kebijakan untuk menaikkan BBM. Kali ini, pemerintah sudah tidak punya hati nurani. Mereka justru mengambil kebijakan untuk menaikkan harga BBM dengan harga yang tinggi. Mahasiswa sebagai garda terdepan pun, mati-matian memperjuangkan rakyat. Namun, pemerintah tetap saja tertidur pulas dengan kursi 2 milliar-nya, yang pada akhirnya suara rakyat hanya mimpi yang terlewatkan saja. Imbasnya, harga BBM yang semakin tinggi, membuat rakyat semakin sengsara dan menambah pula masyarakat yang berada pada garis kemiskinan.
Dibidang pendidikan, pemerintah misalnya, pemerintah juga tidak kehilangan akal untuk mempersulit mahasiswa. Pemerintah kembali mengusung kebijakan yang merugikan pihak siswa SMA. Pelaksanaan ujian Seleksi Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN) yang akan disatukan dengan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) juga menjadi perdebatan. Banyak kalangan yang meng”iya”kan kebijakan tersebut. Namun, banyak juga yang menentang keras kebijakan tersebut. Pasalnya berbagai permasalahan dan kesiapan yang kurang, membuat kebijakan tersebut terkesan seperti sinetron kejar tayang. Kebijakan lain terkait dunia pendidikan, yakni kewajiban untuk membuat jurnal ilmiah yang diterbitkan secara nasional maupun internasional juga menuai banyak pro dan kontra. Sampai hari ini, pemerintah juga belum memberikan ketegasan mengenai permasalahan yang terjadi diatas.
Seperti trend 2012 yang mengusung “galau” sebagai icon para remaja, sepertinya pemerintah juga sedang galau menghadapi masalah yang semakin kompleks dan rumit. Pemerintah seperti kehilangan arah, sekedar bagaimana melangkah untuk menyongsong hari esok dengan menuntaskan permasalahan yang terjadi.
Ideologi yang Ter”marginal”kan
Pancasila menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia yang merupakan sumber pengejawantahan isi jiwa atau kepribadian bangsa Indonesia, yang ditetapkan sebagai falsafah negara yang didirikan tanggal 17 Agustus 1945. Namun, saat ini justru semakin luntur dan termarginalkan posisi dari pancasila ini. Persoalan yang ada sering kali diselesaikan tanpa mendasarkan pada ideologi yang dimiliki. Imbasnya, krisis ideologi menjadi semakin terasa di negara kita ini.
Krisis multidimensi yang sedang dialami oleh Indonesia, terkadang hanya disorot dari beberapa perspektif saja. Misalnya, bidang ekonomi atupun politik saja yang menjadi topik utama. Padahal, banyak permasalahan yang menjadi PR bersama untuk diselesaikan. Adanya perdagangan manusia juga semakin marak. Kasus ini sebenarnya sudah lama mencuak, namun pemerintah seolah menutup mata dan tidak peduli akan kasus tersebut. Banyak gadis-gadis remaja yang dijual untuk menjadi pekerja seks komersil, meskipun banyak dari mereka yang mengaku karena adanya tuntutan ekonomi, namun hal tersebut harus kita berantas. Adanya advokasi kepada para pelaku harus digencarkan. Jika sebagian besar terjadi akibat faktor ekonomi, harusnya pemerintah lebih proaktif dalam memberdayakan sumber daya manusia yang ada. Pelatihan ketrampilan perlu dilakukan lebih giat, agar mereka memiliki keahlian, tanpa harus memiliki ketergantungan terhadap industri perusahaan yang ada.
Pemimpin Icon Kemajuan
Pemimpin menjadi salah satu faktor yang mampu menjadi penentu kemajuan suatu negara. Lewat kepemimpinannya yang baik, maka akan tercipta suatu kondisi yang stabil di suatu negara. Kepimimpinan memiliki definisi kemampuan untuk bertindak diluar budaya untuk memulai proses perubahan evolusi agar menjadi lebih adaptif. (E. H. Schein, 1992, h.2). Perubahan tersebut haruslah menjadi perubahan yang memihak kepada masyarakat luas, tidak hanya kalangan tertentu saja. Berbicara mengenai pemimpin, tentunya tidak terlepas dari adanya partai politik yang yang menjadi kendaraan menuju suatu kekuasaan di negara kita. Lewat partai politik inilah masyarakat diperkenalkan dengan nama-nama pemimpin yang akan siap memberikan perubahan terhadap masyarakat. Meskipun ketika para pemimpin duduk manis dipemerintahan tidak mampu membawa perubahan yang berarti untuk masyarakat. Disini, memang perlu adanya revolusi politik, mengenai bagaimana para wakil rakyat mampu membawa perubahan untuk hajat hidup orang banyak. Menurut Durkheim, memandang revolusi politik sebagai agitasi pada permukaan kehidupan sosial yang tidak mampu melahirkan transformasi utama dalam masyarakat, disebabkan karena evolusi institusi-institusi sosial dasar selalu berjalan perlahan. Pandangan Marx juga menggambarkan suatu kasus yang berkaitan dengan pokok persoalan ini. Penggerak utama perubahan sosial, menurut skema yang digambarkan Marx dalam kata pengantar buku “A Contibution to the Critique of Political Economy”, adalah perluasan kekuatan produksi yang terdapat dalam jenis masyarakat tertentu.
Perlu adanya pembagian kelompok yang mampu diberdayakan, sehingga beberapa kelompok dengan potensi yang beragam, akan mampu menjadi kekuatan ditengah-tengah masyarakat yang sedang mengalami krisis multidimensi. Mereferensikan pendapat Mark yang mengatakan perlu adanya kewaspadaan ketika kekuatan produksi masyarakat berkembang, kekuatan itu akan berbenturan dengan hubungan produksi, atau kepemilikan yang ada dan menghalangi pertumbuhannya. Setiap perkembangan yang terjadi, jangan hanya dinilai dari satu sisi. Analisa perkembangan yang mengindikasikan kepada hal-hal yang negatif.
Refleksi bersama untuk pemerintah dan masyarakat dalam mensinergikan kekuatan sebagai dua unsur yang berbeda. Menjadi tugas penting untuk pemerintah sebagai motor penggerak adanya perubahan dalam menganalisa kekuatan-kekuatan serta potensi yang dimiliki negara. Jadi pemerintah tidak hanya tutup mulut, tutup telinga, mereka juga harus mau menjadi pendengar aspirasi rakyat. Meskipun saat ini terlihat jelas kebutaan pemerintah akan realita sosial yang terjadi di bumi pertiwi ini, membuat pesimis jika Indonesia akan menjadi lebih baik. Para pejabat dan calon pejabat pemerintahan hanya berorientasi terhadap kenikmatan yang didapat dari jabatan yang diemban. Esensi dari tanggung jawab mereka, mungkin dinomor sekian kan. Tidak lagi berbicara bagaimana membangun negara ini sesuai dengan cita-cita yang diemban sejak awal, namun ambisi untuk menciderai negara inilah yang semakin menjamur. Dengan kondisi yang semakin parah ini, kita tinggal menunggu eksekusi mati negara Indonesia dibawah pimpinan bandit-bandit elit ini.