Heboh
akibat gantung diri, depresi, bahkan mengamuk di sekolahan karena tidak lulus
ujian nasional (UN) menjadi sebuah keprihatinan dalam dunia pendidikan.
Tamparan pedas dalam dunia pendidikan ini harusnya menjadi salah satu bahan
evaluasi UN. Mendewakan UN akan berdampak negatif bagi perkembangan pengetahuan
siswa. Betapa tidak, UN menjadi point penting bagi nasib kelulusan siswa,
sehingga beragam cara dihalalkan untuk dapat lulus UN. Meskipun tahun ini UN,
bukan satu-satunya penentu kelulusan siswa, namun ghiroh untuk lulus UN seolah
menjadi harga mati. Tahun ini, kelulusan siswa memang ditentukan oleh
masing-masing satuan pendidikan, namun tetap saja setiap siswa wajib mengikuti
UN.
Ujian
nasional menjadi agenda yang diagungkan, sehingga menjelang UN siswa dituntut
menguasai materi UN. Nilai kelulusan UN menjadi mutlak untuk didapat.
Menghadapi UN, beragam sekolah juga mengadakan beragam agenda untuk bisa
mendapatkan sebuah nilai kelulusan. Mulai dengan adanya jam tambahan khusus
untuk mata pelajaran UN, bahkan diimbangi dengan agenda religi untuk memohon
agar diberikan kesuksesan dalam menghadapi UN. Tak pelak, suasana penuh haru
dan ketegangan senantiasa mewarnai sekolah menjelang UN. Bahkan sering terlihat
isak tangis siswa pecah saat menjelang persiapan UN.
Kita
tentu masih ingat kasus yang terjadi pada siswa yang mendapat nilai UN
tertinggi di Jambi bernama Wahyu Ningsih yang mati bunuh diri akibat tidak
lulus ujian. Tidak hanya itu, beberapa siswa di SMA 1 Bonepantai Gorontalo yang
mengamuk karena tidak lulus ujian nasional menjadi salah satu contoh tindakan
yang tak selayaknya dilakukan oleh pelajar.
Di
Indonesia, ujian nasional merupakan salah satu agenda rutin yang harus diikuti
oleh siswa kelas akhir baik ditingkat SMP maupun SMA. Beberapa kasus diatas,
mengindikasikan bahwa UN menjadi momok bagi siswa. Lebih ekstreem lagi, UN menjadi monsternya para siswa yang akan
menghadapi ujian. Meskipun tidak semua siswa menganggap UN sebagai sesuatu yang
menakutkan, namun hal ini menjadi sorotan penting dalam dunia pendidikan.
Esensi adanya UN, adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia.
Beberapa
kasus yang terjadi pada siswa, mencerminkan bahwa siswa mengalami depresi yang
luar biasa. Selain usaha dalam belajar, dewa keberuntungan menjadi sesuatu yang
dinanti. Sejatinya pendidikan mampu menjadikan manusia cerdas, berpikir luas,
bukan sebaliknya. Paulo Freire dengan konsep pendidikan yang membebaskan inilah
yang mampu menjadikan siswa open mind terhadap ilmu pengetahuan. Siswa
yang diberikan kebebasan dalam belajar, justru akan merasa menikmati
belajarnya. Belajar sejatinya menjadikan manusia memahami makna ilmu
pengetahuan secara mendalam.
Tabuh
Ujian Nasional telah bergaung. Beragam persiapan menjelang UN 2015 ini banyak
dilakukan diberbagai sekolah. Proses pemadatan jadwal sekolah, hingga karantina
siswa dilakukan untuk menyambut datangnya UN. Ujian nasional yang akan
dilaksanakan pada bulan 13-15 April untuk tingkat SMA sederajat, 4-7 Mei untuk
SMP sederajat, hingga Mei untuk tingkat SD sederajat. Meskipun kebijakan UN
bukan satu-satunya penentu kelulusan, namun UN memiliki peranan yang sangat
urgen.
Siapkah
dengan UN Online?
Wacana
akan diadakannya UN secara online akan diluncurkan tahun 2015 ini. Pemerintah
melalui kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah menegaskan akan adanya UN
secara online. Menggunakan computer based
test pemerintah akan menunjuk salah satu sekolah pada tingkat kecamatan
sebagai pusat pelaksanaan UN online. Pemerintah berdalih bahwa infrastruktur
sekolah telah memadai, terutama komputer dan akses internet, sehingga akan
mempermudah dalam pelaksanaan UN secara online.
Era
globalisasi, seluruh arus informasi dan teknologi berkembang sangat pesat.
Indonesia sebagai negara yang tak lepas dari dampak globalisasi tentu tak
menginginkan bangsanya tertinggal dalam segala bidang. Melalui salah satu
kebijakan dalam dunia pendidikan ini, pemerintah tengah mengambil langkah
serius untuk memanfaatkan tekhnologi sebagai bahan ujian nasional.
Pro
kontra ujian nasional yang tak pernah selesai, tak menyurutkan pemerintah untuk
terus menggenjot roda pendidikan menuju perbaikan. Ujian nasional yang akan
dilaksanakan menggunakan sistem online memiliki dua sisi aspek yang patut
disoroti.
Pertama, sistem
online yang dicanangkan, menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia tengah
bersiap menuju pemanfaatan teknologi. Ujian menggunakan sistem online, akan
lebih efektif dan efisien. Sebab, penggunaan komputer sebagai bahan ujian tak
perlu mengeluarkan biaya banyak untuk mencetak lembar soal dan jawaban.
Kedua, ujian
online yang akan dilaksanakan pemerintah tahun ini juga harus melihat ribuan
sekolah yang memiliki fasilitas terbatas. Meski dipusatkan di salah satu
sekolah di kecamatan, tentu langkah ini tidak akan efektif. Persiapan panjang
menghadapi UN pastinya memeras tenaga dan pikiran, jika kelengkapan
infrastruktur harus “nebeng” di sekolah lain, secara psikologis anak akan kaget
dan tidak dapat berkonsentrasi secara maksimal. Meskipun pemerintah menjanjikan
adanya kemudahan akses internet di berbagai wilayah, tidak ada jaminan bahwa
akses saat UN bisa mudah. Jika koneksi internet buruk, hal ini jelas akan
memperburuk kondisi sekaligus hasil UN siswa.
Kesiapan
UN secara online tidak hanya terbatas pada wilayah pemenuhan infrastruktur
sekolah semata, aspek psikologis dan kemampuan serta kesiapan siswa menjadi
pertimbangan penting. Ribuan siswa di pelosok negerilah yang patut mendapatkan
perhatian dalam mencanangkan kebijakan baru. Pada hakikatnya, asas keadilan
yang termaktub dalam pancasila berlaku pula dalam dunia pendidikan. Sehingga
siswa tidak lagi menjadi korban akibat ketidaksiapan pelaksanaan kebijakan
dalam pendidikan. Indahnya pendidikan dengan beragam sarana dan prasarana juga
wajib diberikan kepada siswa yang berada di pelosok negeri, bukan hanya
sekolah-sekolah perkotaan semata.